THE KING OF CARUBAN (Part 1)

Malam itu begitu sunyi. Angin berhembus lembut membelai daun-daun pepohonan. Terdengar sayup-sayup suara jangkrik bersahut-sahutan. Semua orang di Istana Kerajaan Siliwangi terlelap dalam tidur masing-masing. Malam itu, Nyai Rarasantang, putri Prabu Siliwangi, dalam tidurnya bermimpi berjumpa dengan seseorang yang begitu agung. Sosok itu mengenalkan dirinya bernama Nabi Muhammad SAW. Ia datang dalam mimpinya untuk  mengajarkan Islam. Beberapa saat kemudian, Nyai Rarasantang terbangun dan cukup kaget, siapakah Nabi Muhammad SAW yang belum pernah ia kenal itu. Wajahnya sangat berwibawa dan caranya menerangkan Islam sungguh mempesona. Tidak hanya malam itu, mimpi itu juga dialaminya di tiga malam berikutnya secara berturut-turut.

Nyai Rarasantang menceritakan mimpinya itu kepada kakaknya bernama Raden Walangsungsang. Sungguh mengejutkan, keduanya mengalami mimpi yang sama, yakni berjumpa dengan sosok  mulia itu, Nabi Muhammad SAW. Keduanya pun semakin penasaran untuk lebih mengenal jauh orang yang berada dalam mimpi mereka itu. Mereka telah mendengar ada seorang ulama Islam di Caruban. Ulama itu bernama Syekh Dzatul Kahfi atau biasa disebut Syekh Datuk Kahfi yang membuka perguruan Islam di Caruban.

Tak lama kemudian, keduanya pun berniat mengutarakan maksudnya kepada Prabu Siliwangi untuk berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, mereka ingin memperdalam agama Islam seperti yang diajarkan Nabi Muhammad SAW dalam mimpinya. Walangsungsang yang berstatus Tohaan (Pangeran), juga adik-adiknya merasa bertanggung jawab untuk meningkatkan kualitas dirinya sebagai putra-putri Maharaja.

“Rama, kami hendak mohon izin berguru agama Islam kepada Syekh Datuk Kahfi di tanah Caruban.” Ucap Walangsungsang penuh hormat.
Prabu Siliwangi diam sejenak, lalu berkata, “Ada apa denganmu anakku, mengapa engkau begitu ingin belajar agama Islam?”
“Rama, saya mimpi berjumpa dengan Nabi Muhammad, sang pembawa agama Islam. Demikian pula Rarasantang. Bahkan kami mengalaminya sebanyak tiga kali.”
“Walangsungsang dan Rarasantang, kalau begitu Rama tidak akan menghalangi niat kalian. Rama izinkan kalian mendalami agama Islam di Caruban.”

Prabu Siliwangi tidak terlalu menghalangi keinginan kedua anaknya itu. Wajar saja, karena ayahnya juga sudah belajar banyak tentang agama Islam, mengingat istrinya bernama Nyi Subanglarang adalah putri Ki Gedeng Tapa dan pernah nyantri di Pesantren Syeikh Qura’ atau Syeikh Hasanuddin. Namun, Sang Prabu hanya menginginkan satu anaknya yang lain bernama Rajasangara tetap berada di Istana Kerajaan Siliwangi untuk mendampinginya memimpin pemerintahan.

Esok harinya, Raden Walangsungsang dan Nyai Rarasantang menyiapkan segala bekal untuk menempuh perjalanan panjang ke daerah Caruban. Dengan berat hati, Prabu Siliwangi melepas kedua anaknya itu untuk belajar Islam pada Syekh Datuk Kahfi.

“Matur nuwun atas kebaikan Rama. Kami mohon izin untuk berangkat ke tanah Caruban.” Kata Walangsungsang pamit.

***

Raden Walangsungsang dan Nyai Rarasantang berangkat menuju tanah Caruban yang cukup jauh. Di tengah perjalanan, Raden Walangsungsang bertemu dengan seorang wanita tua bernama Sang Danuwarsih dari gunung Marapi.

“Hai, siapa engkau dan ada perlu apa di sini?” Tanya Sang Danuwarsih.
“Walangsungsang namanya, putra dari Padjajaran beribu Ratu Subanglarang. Saya hendak berguru agama islam.” Ucapnya.
“Oh begitu, ikutilah saya sejenak ke puncak gunung Marapi. Nanti saya beritahukan di mana tempatnya.” Ajak Danuwarsih.

Walangsungsang pun mematuhi lalu berjalan mengikuti Sang Danuwarsih. Di sana ternyata ada seorang gadis cantik, ia adalah putri dari Sang Danuwarsih.

“Hai putriku, Nini Indanghayu, sekarang lekas bikin jamuan, jodoh engkau sudah datang.” Ujar Danuwarsih.

Indanghayu pun mengambil makanan lalu dihidangkan kepada Raden Walangsungsang.

“Walangsungsang dan Indanghayu, sekarang aku kawinkan kalian berdua. Karena kalian adalah turunan dari Galuh.” Kata Sang Danuwarsih.

Awalnya keduanya sempat ragu, namun pada akhirnya sepakat untuk menikah lalu bermukim beberapa saat di sana. Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan kembali menuju tanah Caruban.

"Pergilah ke Gunung Djati. Di sanalah Syeikh Datuk Kahfi berada." Kata Sang Danuwarsih.
"Matur nuwun, Nyai. Kalau begitu saya mohon pamit berangkat ke sana bersama adik dan istri saya." Ucap Walangsungsang.

Setelah mendapat izin, ketiganya pun melanjutkan perjalanan menuju Gunung Djati. Lama kemudian, mereka pun sampai di sana lalu segera mencari Syekh Datuk Kahfi. Mereka memasuki sebuah rumah lalu melihat seorang tua renta yang sedang duduk bersila.Sambil tersenyum ia berkata,

“Hai tiga orang muda, nama kalian siapa dan dari mana?”
“Saya bernama Walangsungsang, putra Padjajaran, bersama adik kandungku Rarasantang, dan istriku Indanghayu namanya. Kami mau bertanya, apakah panjenengan Syekh Datuk Kahfi?” Ucap Walangsungsang.
“Inggih, kalian ada keperluan apa datang ke sini?”
“Saya hendak berguru agama Islam yang dibawa oleh Kanjeng Nabi Muhammad.”

Syekh Datuk Kahfi menggangguk sebentar lalu berkata, “Ucapkanlah dua kalimat syahadat, dirikanlah shalat, tunaikan zakat, puasa di bulan Ramadhan, dan naik haji. Aja klalen, bacalah Al-Qur’an dan shalawat kepada Kanjeng Nabi Muhammad.”

Ketiganya menuruti semua nasehat sang gurunya itu lalu mengucapkan dua kalimat syahadat.

“Walangsungsang, mulai saat ini, engkau aku beri nama Somadullah.” Ucap Syekh Datuk Kahfi.

***

Bersambung...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mutiara dari Nusa Laut (Jejak Juang Martha Christina Tiahahu)

FENG SHUI; ANTARA ILMIAH DAN MITOS

Apakah Yesus Anak Allah ?