THE KING OF CARUBAN (Part 2; Perjalanan ke Mekkah Al Mukarramah)

Hari sudah gelap gulita. Di dalam sebuah rumah gubug, Syekh Datuk Kahfi dan Raden Walangsungsang atau Somadullah duduk bersila berhadap-hadapan. Di sampingnya ada lampu tempel yang sayup-sayup memberi penerangan. Mereka nampak berbincang serius satu sama lain. Somadullah tidak mau melewatkan kesempatan berharga ini. Ia menanyakan berbagai hal kepada gurunya itu, terutama sekali tentang agama Islam. Syekh Datuk Kahfi menerangkan tentang pentingnya ketauhidan kepada Allah SWT. Karena tauhid adalah inti dari ajaran Islam.

“Somadullah, jika engkau kehilangan tauhid maka engkau juga akan kehilangan Islam.” Jelas sang guru.
Sandika, guru.” Jawab Somadullah penuh ta’dzim.
“Muridku, engkau sudah banyak belajar Islam di sini. Saat ini, ku izinkan engkau untuk melakukanbabakyasa, membangun sebuah dukuh di hutan.”
Inggih guru.”

Somadullah mematuhi perintah gurunya itu, bersama adik dan istrinya ia pergi ke suatu daerah untuk membuka pedukuhan. Ia memilih jalur pesisir pantai lalu menuju ke daerah Lemahwungkuk. Di daerah itu mereka menjumpai  satu rumah yang sudah cukup tua dan tak terurus. Perlahan mereka mendekati rumah itu lalu mengetuk pintunya dan memberi salam. Tak lama kemudian, seorang kakek tua keluar lalu menyambut ketiganya.

“Aku Somadullah, santri Gunung Djati. Siapakah nama kakek?” Kata Somadullah menyapa.
“Namaku Ki Gedeng Alang Alang. Ada maksud apa datang ke sini anak muda?”
“Jika diizinkan panjenengan, kami hendak membangun sebuah dukuh di daerah ini.” Somadullah memohon.

Ki Gedeng Alang Alang berpikir sejenak lalu mengabulkan keinginan Somadullah. “Hai Somadullah, kakek tidak punya anak maupun teman di sini. Kakek akan angkat kalian bertiga sebagai anak kakek.”

Mereka bertiga tersenyum bahagia mendengar jawaban dari Ki Gedeng Alang Alang.
“Matur nuwun, ki.” Sahut Somadullah.
“Hai Sommadullah, saat ini engkau aku beri nama Cakrabumi.” Ujar Ki Gedeng Alang Alang.
Mereka pun tinggal di rumah kakek tua itu selama berhari-hari. Mereka masuk keluar hutan untuk menebangi pepohonan besar dan kecil. Wilayah yang sudah ditebang mereka tanami dengan palawija. Hutan yang dahulu lebat kini berganti dengan perkebunan yang indah. Ki Gedeng Alang Alang pun nampak senang dengan apa yang dilakukan ketiga anak muda itu. Selain bercocok tanam, Somadullah atau Cakrabumi juga gemar menangkap ikan dan rebon. Rebon adalah semacam udang ukuran kecil. Dari rebon itu diolah menjadi terasi yang enak dimakan.

Lama kemudian, pedukuhan yang dibuka oleh Cakrabumi terkenal hingga ke wilayah Palimanan dan Rajagaluh. Para tengkulak datang berbondong ke dukuh ini untuk berbelanja palawija dan rebon. Adapula yang sangat menyukai air dari rebon itu, mereka menyebutnya cai rebon. Sehingga pada masa selanjutnya, daerah ini dikenal dengan nama Dukuh Cirebon. Ki Gedeng Alang Alang pun diproklamirkan sebagai Kuwu Dukuh Cirebon.

Keberadaan Dukuh Cirebon semakin masyhur hingga diketahui oleh Prabu Rajagaluh. Sampai akhirnya, Ki Gedeng Alang Alang wafat lalu posisinya digantikan oleh Cakrabumi. Di bawah kepemimpinan Cakrabumi, penyebaran Islam semakin gencar di wilayah ini. Sudah banyak penduduk dukuh ini yang sebelumnya beragama Budha lalu pindah menjadi orang Islam.

***

Lama sudah Cakrabumi tinggal di Dukuh Cirebon. Ia sudah dikenal luas sebagai Kuwu Cirebon. Ia pun mendapat gelar dengan sebutan Pangeran Cakrabuana. Penduduk Dukuh Cirebon semakin banyak yang memeluk agama Islam. Namun tidak ada paksaan bagi mereka yang ingin tetap dengan agama nenek moyangnya. Daerah ini perlahan diakui eksistensinya oleh Kerajaan Rajagaluh. Pangeran Cakrabuana pun semakin senang dan bersyukur kepada Allah dengan perkembangan daerahnya itu.

Suatu ketika, mereka menghadap kepada guru mereka, Syeikh Datuk Kahfi untuk menceritakan keberhasilannya di Dukuh Cirebon. Sang guru nampak turut bahagia atas pencapaian gemilang ketiga muridnya itu.

“Somadullah, engkau sudah berhasil membangun Dukuh Cirebon dan mengislamkan banyak orang. Kelak Dukuh Cirebon akan menjadi negara besar dan menjadi tempat berkumpulnya para wali. Kini saatnya engkau dan adikmu pergi berhaji ke tanah suci, Mekkah Al Mukarramah.”
“Di manakah tempat itu?”
“Engkau harus berlayar ke arah Barat. Kalian harus siap lahir batin. Perjalananmu akan menempuh waktu berbulan-bulan.”
Sandika guru.”
“Sebelum kalian pergi berlayar ke Mekkah, temuilah Syeikh Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) untuk meminta wejangan.” Kata Syeikh Datuk Kahfi.
“Baik guru, Aku dan Rarasantang akan ke sana.”

Mereka izin pamit kepada sang guru lalu memulai perjalanan ke Gresik demi bertemu dengan Maulana Malik Ibrahim. Untuk sampai ke sana, mereka menggunakan kuda sebagai kendaraan tercepat di masa itu. Mereka juga harus keluar masuk hutan, melewati bukit, dan menyusuri pisisir pantai. Setelah menempuh perjalanan berhari-hari, barulah mereka sampai di daerah tersebut lalu segera menemui Syeik Maulana Malik Ibrahim.

“Aku adalah santri gunung Djati, Cakrabuana namanya. Bersama adikku Rarasantang hendak minta petunjuk kepada panjenengan. Kami hendak pergi ibadah haji ke Mekkah.”

Syeikh Maulana Malik Ibrahim pun memberi nasehat panjang lebar kemudian menitipkan sepucuk surat untuk Syeikh Bayan dan Syeikh Abdullah yang berada di tanah suci Mekkah. Setelah itu, Cakrabuana dan Nyi Rarasantang pamit untuk melanjutkan perjalanannya berlayar mengarungi lautan menuju tanah para Nabi, Mekkah Al Mukarramah.

***

Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rarasantang berdiri di pesisir pantai. Angin laut berhembus sangat kencang ketika itu. Dari kejauhan mereka menyaksikan sebuah kapal besar perlahan mulai merapat ke pelabuhan. Di atasnya ada ratusan orang bersiap untuk turun dengan membawa barang-barang mereka.  Pangeran Cakrabuana melihat juga banyak wajah-wajah Timur Tengah yang berkunjung ke Nusantara untuk berdagang. Sementara di luar, banyak pula orang-orang yang bersiap-siap untuk berlayar menuju ke negeri Arab. Kedua putra dan putri Padjajaran itu pun mulai menaiki dek kapal bersama ratusan orang lainnya. Layar sudah terkembang. Patok penyanggah sudah dinaikkan. Perlahan kapal itu pun mulai berjalan. Nyai Rarasantang berdo’a kepada Yang Maha Kuasa semoga perjalanannya selamat sampai tujuan.

Dua bulan lamanya mereka terombang-ambing di tengah samudera Hindia. Sudah berulang kali mereka dilanda badai besar yang cukup menakutkan. Jika sudah demikian, semua orang bahu-membahu untuk menyelamatkan kapal dari ancaman badai itu. Semua penumpang pun berdo’a mudah-mudahan Tuhan masih berkenan menyelamatkan mereka. Pangeran Cakrabuana pun berharap, kalau pun mereka meninggal di tengah laut, semoga dirinya dan penumpang lainnya tergolong orang-orang yang mati syahid. Karena niatnya pergi ke negeri Arab semata-mata untuk beribadah di tempat agung, Mekkah Al Mukarramah.

Nyai Rarasantang masih terlelap dalam tidurnya. Tiba-tiba ia merasakan kapal itu telah berhenti. Ia pun segera terbangun lalu membangunkan kakaknya. Pangeran Cakrabuana pun bangkit dan menanyakan kepada seseorang di mana mereka saat ini. Dari kejauhan, orang-orang berteriak bahwa kapal itu sudah sampai di tanah Arab. Wajah Nyai Rarasantang mendadak sumringah dan bahagia sekali.

“Apakah kita sudah sampai, kakanda?” Tanya Nyai Rarasantang.
“Alhamdulillah, kita sudah sampai.” Ucap Pangeran Cakrabuana lalu mendadak sujud syukur kepada Tuhan.

Semua orang beramai-ramai turun dari kapal dengan suka cita. Pangeran Cakrabuana memanggul semua bekal lalu melanjutkan perjalannya bersama adiknya menuju Mekkah Al Mukarramah. Setiap saat mereka berdzikir kepada Allah mengucap syukur.  Mereka tak menyangka sebentar lagi akan berjumpa dengan Baitullah yang sangat dirindukan.

***
Bersambung...

Komentar

  1. Salam, blog anda menarik. Rasa ingin sepertinya.

    BalasHapus
  2. SERVIS LAMPU (philip,osram,visicom dll)..go green caruban

    TELAH HADIR DI CARUBAN, KAB.MADIUN

    (PERUM KALIGUNTING F.23/KOLAM RENANG)

    - JUGA MENERIMA SERVIS REGULATOR LPG+ kompornya
    RAHMAT: 082.141.571.948

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mutiara dari Nusa Laut (Jejak Juang Martha Christina Tiahahu)

Apakah Yesus Anak Allah ?

FENG SHUI; ANTARA ILMIAH DAN MITOS