MENGUNGKAP SISI LAIN RA KARTINI

Indonesia adalah negeri mayoritas Muslim. Namun nyatanya, sejarah umat Islam di negeri ini dikebiri. Salah satunya adalah upaya deislamisasi sejarah perjuangan wanita Indonesia. Padahal Indonesia memiliki segudang tokoh pahlawan wanita dari Sabang sampai Merauke. Di antaranya Martha Christina Tiahahu yang gigih berjuang bersama Pattimura di Maluku, untuk mengusir pendudukan pasukan Kape (Belanda). Kodratnya sebagai perempuan tidak menyurutkan semangat juang dalam melawan tentara Kolonial meskipun dilengkapi persenjataan canggih. Namun apa yang kita ketahui saat ini tentang Martha Christina Tiahahu, sangat mungkin generasi sekarang tidak banyak yang mengenal kepahlawanannya.  

Ada perempuan perkasa dari timur, Herlina Efendi yang dianugerahi pending Cendrawasih Emas dari pemerintah RI atas jasanya untuk membebaskan Irian Barat dari pendudukan kolonial Belanda. Semestinya nama Herlina familiar dengan generasi kita apalagi mereka yang duduk di bangku pendidikan, kurikulum sejarah idealnya membahas biografi Herlina Efendi secara detail tanpa manipulasi data. Kenyataannya banyak yang tidak kenal dengan seorang Srikandi dari Papua ini, sementara jasa beliau telah ikut mengantarkan Irian menjadi jaya seperti sekarang.  

Nyai Walidah Ahmad Dahlan, istri dari KH. Ahmad Dahlan, membentuk kelompok pengajian wanita “Sopo Tresno” 1914, yang mengajarkan hak dan kewajiban perempuan dalam Islam. Sopo Tresno adalah cikal bakal organisasi perempuan Muhammadiyah Aisyiah yang diresmikan pada 22 April 1917. Ia juga membuka asrama dan sekolah-sekolah putri, pemberantasan buta huruf bagi perempuan, mendirikan rumah-rumah yatim dan miskin dan menerbitkan majalah bagi perempuan.  Selain itu, ada Laksamana Malahayati, Sultanah Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan, Dewi Sartika, Rohana Kudus, Cut Nyak Dien, dan masih banyak lagi. Namun di antara banyak tokoh wanita itu, yang terlanjur diagung-agungkan adalah Raden Ajeng Kartini yang diperingati setiap tahunnya.

Melihat fakta semacam itu, tanpa bermaksud mengecilkan, sudah tepatkah pemerintah hanya menganak-emaskan Kartini? Lalu bagaimana dengan pejuang-pejuang perempuan yang telah gugur di medan tempur? Kapan kita dapat mengenang mereka layaknya R.A. Kartini? Bukankah mereka jauh lebih besar pengorbanannya dibanding seorang R.A. Kartini? Silakan cari jawabannya dengan berdasar pada fakta sejarah, dan bukan dogma dari dongeng rekaan Kolonial.  

Menurut Zainal Arifin, sebagaimana dimuat dalam Hidayatullah online, mengungkapkan bahwa tersohornya R.A. Kartini sebagai penggerak emansipasi wanita Indonesia sangat mungkin terjadi akibat propaganda Orientalis-Belanda yang licik. Hal ini dilihat dari upaya H.H. van Kol, C.Th. van Deventer, Snouck Hurgronje, Estella Zeehandelaar, Ny. Abendanon dan lainnya yang merupakan aktifis Orientalis-Belanda dalam mengekspos curhat Kartini melalui media dan buku-buku untuk menebar pertentangan dan perpecahan (Devide at Impera). Atau juga sebagai ajang akulturasi nilai-nilai budaya Belanda untuk menjamah struktur nilai dan budaya Indonesia agar dapat tunduk bersimpati kepada kolonial Belanda.  RA Kartini dan Paham Theosofis.

Artawijaya, seorang penulis buku dan jurnalis Indonesia, dalam sebuah  seminar dengan tema ”Mengungkap Fakta Sejarah Perjuangan Wanita Indonesia” yang diselenggarakan  oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) STID Mohammad Natsir, Ahad (29/4), mengungkap sisi lain Kartini, yang mungkin belum pernah ditulis dalam buku-buku sejarah (text book) yang diajarkan di sekolah-sekolah. Jika sejarah nasional selama ini menulis kiprah Kartini sebagai ikon kemajuan perempuan Indonesia yang tercermin dalam surat-suratnya, maka ia berusaha menguak sisi lain tentang Kartini secara personal, di antaranya pandangan keagamaannya, latarbelakang pemikirannya, dan siapa saja orang yang berinteraksi secara intim dengannya.  

Dalam acara yang berlangsung di Gedung Menara Da’wah, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia itu, Artawijaya mengatakan bahwa isi surat-surat Kartini kepada para sahabatnya yang kebanyakan elit-elit Belanda, sangat kental dengan pemikiran dan paham Theosofi. Di antaranya paham tentang pluralisme agama, paham tentang Tuhan, dan tentang amal manusia. Kumpulan surat menyurat Kartini diterbitkan oleh Kartini Fonds pada 1911 di negeri Belanda, sementara Kartini meninggal pada 1904.  

Hal ini tidak aneh karena Kartini memiliki hubungan kedekatan dengan Josephine Hartseen, sahabat masa remaja Kartini. Seperti keterangan yang ditulis oleh Pramoedya, Josephine adalah orang yang mengajarkan kepada Kartini ajaran-ajaran tentang Theosofi dan spiritisme. Joshepine, menurut keterangan Pram adalah anggota Theosofi.  Sebagaimana juga keterangan Ridwan Saidi dalam buku Fakta dan Data Yahudi di Indonesia, yang menyebut Josephine sebagai orang Yahudi yang diplot untuk mendekati Kartini.

Sahabat Kartini lainnya, Stella Haarshalts Zeehandelaar, adalah perempuan Yahudi aktivis feminis-sosialis yang cukup radikal.  Menurut kartini, agama apapun tak boleh mendominasi keyakinan seseorang, karena agama manapun pada hakekatnya sama, selama menebarkan kebajikan. Ini tercermin dalam suratnya kepada E.C Abendanon, 31 Januari 1903, ”Kalau orang mau juga mengajarkan agama kepada orang Jawa, ajarkanlah kepada mereka Tuhan yang satu-satunya, yaitu Bapak Maha Pengasih, Bapak semua umat, baik Kristen maupun Islam, Buddha maupun Yahudi, dan lain-lain.”  

Juga surat kepada misionaris Dr N Adriani, 5 Juli 1903 yang berbunyi, ”Tidak peduli agama apa yang dipeluk orang dan bangsa apa mereka itu. Jiwa mulia akan tetap mulia juga dan orang budiman akan budiman juga. Hamba Allah tetap dalam tiap-tiap agama, dalam tengah-tengah segala bangsa”.  Pramoedya alias Pram menilai Kartini sebagai sosok humanis, yang meyakini bahwa tugas manusia adalah menjadi manusia. Bagi Kartini, kata Pram, semua agama sama. Pandangan ini adalah wujud dari daya sinkretik yang tertanam pada jiwa Kartini yang menilai manusia pada amalnya, pada sesamanya, pada kemanusiaan, bukan pada agamanya. Kartini, tegas Pram, adalah seorang humanis yang melihat segala sesuatu dari sisi kepentingan kemanusiaan.”Humanis memandang, tanpa kemanusiaan dalam batin manusia itu sendiri, agama tidak bakal memenuhi gunanya,” jelas Pram yang dikenal sebagai aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), sebuah lembaga underbouw Partai Komunis Indonesia.   

Penilaian Pram tentu bukan tanpa alasan. Paham humanisme begitu kental dalam surat Kartini kepada E.C Abendanon, 15 Agustus 1902. Kartini menulis, “Tuhan kami adalah nurani, neraka dan surga kami adalah nurani. Dengan melakukan kejahatan, nurani kamilah yang menghukum kami. Dengan melakukan kebajikan, nurani kamilah yang memberi kurnia.”  Artawijaya menuturkan, Kartini memang mengakui bahwa alangkah bebalnya  dan bodohnya ia karena tidak melihat ada kekayaan yang menggunung yakni Islam. Itu dikatakan dalam suratnya pada 15 Agustus 1902. ”Namun setahun kemudian, pada 5 Juli 1903, Kartini menulis surat pada E. C  Abendanon bahwa Tuhan orang Islam dengan tuhan-tuhan agama lain adalah satu dan sama. Ini adalah keyakinan unity of god  (kesatuan Tuhan) yang sering dikampanyekan oleh kelompok Theosofi dan kelompok liberal, bukan keyakinan tauhid.” Ujar Artawijaya di hadapan para hadirin.  

Menurut Artawijaya, Kartini memang belajar Islam dan Al Qur’an. Ia juga pernah belajar Islam dengan Kiai Soleh Darat. Namun, ia tak pernah mengoreksi pemahamannya tentang Pluralisme, tentang konsep Ketuhanan, tentang agama, dan tentang kemanusiaan. Sampai akhir hayatnya, pemikirannya yang sangat Theosofis, tidak dikoreksi. Surat Kartini yang menentang Kristenisasi ditulis pada tahun 1902, namun anehnya pada 1903 Kartini menulis surat yang berisi pemahamannya yang sangat Theosofis.  

Wildan Hasan, seorang pembicara lainnya dalam seminar itu, mengatakan bahwa Kartini adalah korban Politik Asosiasinya Christian Snouck Hurgronje yang berupaya agar generasi muda Islam mengidentifikasikan dirinya dengan Barat. Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje. Dalam sejumlah suratnya kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck. Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam. Padahal sosok Snouck Hurgronje adalah seorang orientalis pendukung imperialisme Belanda yang telah berdosa melakukan penyimpangan sejarah Nusantara.  

Wildan juga mengapresiasi upaya Artawijaya yang mengungkap Kartini dari sisi keagamaannya, tidak hanya dari surat-suratnya, tapi juga melalui sahabat-sahabatnya yang rupanya seorang penganut Theosofi. Karena naskah asli surat-surat Kartini belum juga ditemukan sampai saat ini. Maka tidak salah jika muncul dugaan bahwa surat-surat tersebut bukan ditulis oleh Kartini. Karena bagi Wildan, tidak mungkin seorang Kartini yang masih berumur belasan tahun mampu membuat sebuah tulisan yang tergolong berat, baik itu soal emansipasi dan lainnya. Kecuali jika Kartini memang seorang yang sangat cerdas. (Ibnu S.)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mutiara dari Nusa Laut (Jejak Juang Martha Christina Tiahahu)

Apakah Yesus Anak Allah ?

FENG SHUI; ANTARA ILMIAH DAN MITOS