‘THE GRAND DAME’ DARI BUMI ACEH
Malam itu begitu hening. Mayat-mayat bergelimpangan di bumi Kesultanan Aceh. Bau anyir pun tercium sangat menyengat. Sejenak Laksamana Malahayati menatap wajah suaminya untuk yang terakhir kalinya. Ada senyum tipis di bibirnya. Dia mengusap goresan-goresan luka di pipi suaminya itu. Matanya sembab. Berkaca-kaca memilukan. Dendam kesumat bergemuruh hebat di dadanya. Sementara para wanita lainnya berlarian untuk mencari jasad suami masing-masing. Seketika suara tangisan pun memecah kesunyian. Memekik keras hingga mengangkasa. Malahayati terduduk lemas. Kepalanya tertunduk penuh kesedihan. Bulir air bening menetes pelan hingga jatuh di atas kening mayat suaminya itu. Air mata itu telah bercampur dengan lumuran darah. Ini adalah saatnya pembalasan.” Gumam Malahayati dari sanubarinya yang terdalam. Perlahan ia angkat kepalanya. Ia pun berdiri tegap lalu berteriak, “Hey, para Inong Balee. Malam ini menangislah sejadi-jadinya. Esok, penjajah kape itu kita hancurkan sehancur-hancurnya