MEMANDANG HAM, AHMADIYAH DAN ISLAM SECARA PPROPORSIONAL



DUHAM (Dokumen Universal Hak Asasi Manusia) adalah piagam yang telah disahkan oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang telah disepakati oleh seluruh negara yang tergabung dalam organisasi internasional ini. Dari mulai negara-negara maju sampai negara-negara berkembang. Semuanya harus taat dan mematuhi semua undang-undang yang dibuat PBB. Walaupun pada kenyataannya terdapat diskriminasi, ada negara yang diuntungkan dan ada juga yang dirugikan.

Secara universal, undang-undang di dalam HAM bertujuan mulia, yaitu memperjuangkan hak dasar manusia untuk dapat hidup merdeka yang disandarkan pada standar nilai dan otoritas, tanpa adanya intimidasi dari siapa pun. Ini adalah sesuatu yang sangat baik dan perlu didukung, karena tidak ada satu orang pun yang ingin ditindas, dipaksa, dan berada di bawah intimidasi orang lain. Dalam hal ini, HAM adalah suatu perangkat hukum yang melindungi hak-hak asasi manusia yang patut diperhatikan.

Secara normatif, HAM perlu kita dukung untuk melindungi setiap individu manusia, akan tetapi secara tindak praktis sering kali disalah tafsirkan dan disalahgunakan. HAM hanya menjadi topeng untuk melakukan hal-hal yang justru melanggar HAM. HAM hanya menjadi legitimasi dan legalitas ketika seseorang telah melakukan tindakan negatif. Oleh karena itu, kita harus proporsional dalam memposisikan HAM. Jangan terlalu condong ke kiri dan condong ke kanan, sehingga yang terjadi adalah berat sebelah.

Dalam kasus Ahmadiyah, kita juga harus memahaminya dengan pemikiran jernih dan adil. Menurut lembaga ahli agama yang bernama MUI (Majelis Ulama Indonesia), aliran ini telah disesatkan dan menyesatkan. Lembaga yang terdiri dari ulama-ulama seluruh Indonesia ini telah sepakat bahwa Ahmadiyah telah keluar dari mainstream Islam. Karena doktrin utama aliran ini, yaitu dengan Nabi barunya bersinggungan dengan Islam yang meyakini Muhammad adalah Nabi terakhir. Dari sini, fatwa MUI itu dapat dimaklumi dengan akal sehat dan tidak perlu ada yang diragukan.

Mengenai HAM, KH. Cholil Ridwan mengatakan: tidak ada hubungannya dengan hak asasi manusia, MUI sama sekali tidak memasung siapa pun untuk memeluk agama apa pun, kebebasan beragama adalah hak asasi setiap manusia. “Laa ikrooha fiddin,” tidak ada paksaan dalam urusan agama. “lakum diinukum waliyadin,” bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Jangan menanam alang-alang di kebun keluarga, tanamlah di lahan yang kosong yang masih sangat luas. Kebebasan memeluk agama bukan kebebasan merusak agama orang lain.(Republika, 8 Januari 2008)

Menurut sebagian kalangan, fatwa MUI itu sangat bertentangan dengan hak asasi manusia. Menurut mereka, setiap individu berhak untuk memeluk kepercayaan apapun, tidak peduli aliran itu sesat atau tidak, dan mengganggu suatu agama atau tidak. Mereka mengatakan demikian atas dasar piagam universal tentang HAM (Universal Declaration of Human Right) yang menyatakan, “Setiap orang mempunyai hak untuk berpikir, berperasaan, dan beragama; hak ini meliputi kemerdekaan untuk menukar agama atau kepercayaan, dan kemerdekaan baik secara perseorangan maupun secara golongan, secara terbuka dan tertutup, untuk memperlihatkan agama dan kepercayaannya dengan mengerjakannya, mempraktikkannya, menyem-bahnya, dan mengamalkannya.”

Sesuai dengan konsep ini, maka orang mau memeluk dan mengamalkan agama jenis agama apa saja harus dihormati dan diberi kebebasan. Tidak peduli kepercayaan itu senyeleneh apapun.  Bagaimana jika agama itu menodai agama lain? Apakah itu harus dibiarkan. Dan negara tidak boleh melarangnya? Bagaimana pula jika agama/aliran itu mengganggu ketentraman dan kemapanan agama lain?

Nah, dari sini mulai terlihat bahwa banyak kalangan yang menyalahgunakan dan menyalahtafsirkan HAM. Ia hanya menjadi legitimasi untuk mendukung aliran-aliran yang sesat, seperti Ahamadiyah. Padahal apa yang dilakukan Ahmadiyah itu melanggar HAM.

Menteri Agama Suryadharma Ali menyatakan, dewasa ini berlangsung pertarungan aliran pemikiran kebebasan melawan keteraturan di tanah air. "Aliran pemikiran kebebasan mengusung kebebasan hak asasi manusia yang cenderung ke arah liberal," kata Menteri Agama Suryadharma Ali di Riau saat tatap muka dengan jajaran Kakanwil Kementerian Agama dan tokoh-tokoh agama setempat, di Pekanbaru, Riau, Rabu. (23/2/2011).

Ia mengatakan, kelompok kebebasan berjuang habis-habisan untuk diakui mendapat kemerdekaan mutlak tanpa aturan dan batasan. "Tegasnya, mereka minta kebebasan mutlak," katanya. Menurut Menag, pemikiran itu tentu saja ditentang oleh mereka yang berpandangan bahwa tanpa aturan, tentu akan timbul ketidakteraturan. "Kebebasan mutlak itu hanya milik Allah," kata Suryadharma Ali. (Suara Islam Online)

Jika kita menempatkan HAM ini secara proporsional, maka tentu tidak akan terjadi pro dan kontra seperti ini. Ketika Ahmadiyah menyebarkan ajaran sesatnya, maka jelas aliran ini melanggar HAM. Sebab ia telah mengganggu orang lain dengan aktifitas penyesatannya itu. Selain itu, Ahmadiyah juga menodai agama Islam, karena ia masih bersikukuh bahwa ajarannya masih dalam koridor Islam. Terus, kenapa kalangan yang memperjuangkan HAM ini tidak mempersoalkan Ahmadiyah yang menjadi sumber konflik?

“Faktanya, ajaran Ahmadiyah sungguh telah merusak dan menodai ajaran Agama Islam. Ini jelas tidak termasuk pengertian dari kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam prinsip HAM maupun konstitusi. Umat Islam tentu mempunyai hak asasi untuk membela, memelihara, melindungi, mempertahankan kesucian ajaran agama dan keyakinannya dari segala bentuk rongrongan dan penodaan,” ungkap Dr. Saharuddin Daming, salah satu anggota Komnas HAM. (Suara Islam Online).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mutiara dari Nusa Laut (Jejak Juang Martha Christina Tiahahu)

Apakah Yesus Anak Allah ?

FENG SHUI; ANTARA ILMIAH DAN MITOS