Mutiara dari Nusa Laut (Jejak Juang Martha Christina Tiahahu)

Jejak-jejak telapak kaki itu membekas di pesisir pantai Nusa Laut Maluku. Seorang anak perempuan tengah berlari dengan riang gembira. Rambutnya terurai panjang dengan ikat merah di kepalanya. Namanya Martha Christina Tiahahu. Senyum mengembang di bibirnya. Dia berlari semakin mendekat lalu berhasil memeluk sang ayah, Kapitan Paulus Tiahahu, yang baru saja kembali dari perjalanannya. Dia sangat senang dan bangga mempunyai ayah sepertinya, seorang pejuang tangguh yang gagah berani dalam melawan kekejaman kolonial Belanda pada tahun 1800-an.

Martha Christina diasuh, dididik, dan dibesarkan oleh sang ayah secara langsung karena memang ibunya meninggal dunia semenjak dia masih belia. Darah perjuangan dan keberanian sang ayah mengalir deras ke sanubarinya. Kebenciannya terhadap kesewenang-wenangan penjajah Belanda menorehkan goresan luka mendalam pada dirinya. Apalagi sudah ribuan saudaranya menjadi korban kekejaman dan kerakusan bangsa dari Eropa itu.



Martha Christina semakin beranjak besar. Pada tanggal 14 Mei 1817, di sebuah hutan belantara, dia ikut serta berunding bersama ayahnya dan beberapa komandan perang. Mereka membahas strategi perang untuk melumpuhkan kekuasaan Belanda di bumi Maluku. Pada waktu itu, diadakan pengangkatan sumpah untuk merebut kembali tanah air sampai titik darah penghabisan. Termasuk Martha Christina, dia pun ikut mengucap sumpah dengan semangat juang yang menggebu-gebu.

Dalam hasil perundingan itu, terpilihlah Kapitan Abubu, Kapitan Paulus Tiahahu, Martha Christina Tiahahu, dan Raja Titawaoi. Semuanya pergi untuk menggempur Benteng Beverwijk di bawah pimpinan Sang Kapitan Pattimura.


Menjelang waktu subuh, satu persatu pejuang Maluku itu bergerak mendekati benteng. Untuk langkah awal, Kapitan Paulus Tiahahu dan Martha Christina menyusup masuk dengan cara gerilya. Dua penjaga benteng tersebut nampak terlelap, Paulus Tiahahu segera melumpuhkan keduanya. Tak disangka ada seorang prajurit Belanda lagi di dekatnya. Prajurit itu bersiap-siap menarik pelatuk senjatanya, namun dengan cepat, Martha Cristhina menarik senjata musuh kemudian terjadilah perkelahian cukup sengit.


“Buuukkkk.” Martha Christina terkena pukulan gagang senapan di pelipis kirinya kemudian terpental jatuh.


Melihat kejadian itu, Paulus Tiahahu pun segera berlari menyerang tentara Belanda itu. Dengan sigap dan tangkas, sang ayah berhasil merebut senjata lalu memenangkan perkelahian itu. Tentara Belanda itu tergeletak di atas tanah.


Lama kemudian, Kapitan Paulus Tiahahu segera bergerak merangsek masuk bersama ratusan pejuang Maluku lainnya. Sementara Martha Christina, dengan memikul senapan rampasan, dia mengikuti ayahnya di belakang untuk memberi perlindungan.


Seketika pecahlah peperangan antara para pejuang Maluku melawan tentara penjajah Belanda. Tentara Belanda cukup kewalahan dengan serangan mendadak yang dilancarkan musuhnya di waktu menjelang fajar. Lama kemudian, akhirnya para pejuang Maluku itu berhasil mengambil alih Benteng Beverwijk buatan imperialis Belanda itu.


***


Desa Ouw, sebelah tenggara Pulau Saparua, tengah terjadi sebuah pertempuran dahsyat.  Penyerbuan ini adalah sebagai aksi pembalasan dari Belanda atas hancurnya benteng Duurstede dan Beverwijk oleh para pejuang Maluku. Dentuman bom terdengar menggelegar, menghancurkan rumah-rumah warga hingga rata dengan tanah. Rentetan peluru melesat-lesat tiada henti membunuh para pejuang bumi Maluku. Ratusan orang tumbang dengan luka-luka yang mengerikan di sekujur tubuhnya.


Pasukan Belanda membumihanguskan Desa Ouw sehabis-habisnya. Martha Christina Tiahahu berupaya mempertahankan desa tersebut dari ancaman musuh. Dia membakar semangat kaum wanita agar turut serta membantu perjuangan kaum pria di medan pertempuran.


Dengan mengencangkan ikat merah di kepalanya, Martha Christina berteriak,

“Tanah ini adalah tempat kita dilahirkan, jangan biarkan penjajah itu merebutnya.”

Para pejuang pun tersulut emosinya hingga maju ke garda terdepan tanpa takut akan kematian. Merdeka atau mati, itulah semboyan yang sangat dikenal sepanjang masa itu.


“Kita dilahirkan di sini, kita pun harus rela mati di bumi ini. Lebih baik mati dalam perjuangan daripada menjadi budak mereka.” Martha Christina terus memberi kobaran semangat kepada para pejuang.


Namun karena fasilitas senjata yang tidak berimbang, tipu daya musuh, serta pengkhianatan dari dalam, Martha Christina dan para pejuang lainnya berhasil dikalahkan tentara Belanda. Banyak sudah pejuang yang ditawan kemudian dijatuhi hukuman yang sangat kejam. Ada yang dihukum mati, ada pula yang diasingkan ke pulau Jawa. Termasuk ayahnya sendiri terancam mendapat hukuman mati oleh sang penjajah.


“Bebaskan ayahku, sebagai gantinya biarkan aku yang dihukum mati.” Ujar Martha Christina mengiba di balik jerusi besi kepada seorang jenderal yang berada di hadapannya.


Martha Christina tidak tega melihat ayahnya tercinta yang sudah semakin tua itu, harus menerima hukuman mati. Apalagi peran ayahnya dalam perlawanan menghadapi Belanda masih sangat dibutuhkan. “Lebih baik aku yang mati.” Gumamnya dalam hati.


Namun demikian, nampaknya upaya Martha Christina sia-sia belaka. Tentara Belanda tidak mengabulkan permintaan Martha Christina. 


Dan tiba-tiba,

“Duaaaarrr..!!” Terdengar suara senapan menghujam di kepala Kapitan Paulus Tiahahu.

Air mata Martha Christina Tiahahu seketika tumpah. Dia harus rela dan tegar menyaksikan sang ayah dihukum mati oleh kolonial Belanda.  




***


Pada akhir bulan Desember 1817 M, Kapal Perang Eversten berlayar dari Ambon menuju Pulau Jawa. Di dalam kapal itu terdapat 39 tawanan perang, termasuk Martha Christina Tiahahu, srikandi dari bumi Maluku itu. Meski dalam posisi tawanan, Martha Christina tetap melakukan perlawanan kepada tentara Belanda. Dia menolak bicara, menolak makan dan minum. Hingga kondisi kesehatannya semakin hari semakin melemah saja.


Tatkala kapal itu sampai di Tanjung Alang, Martha Christina Tiahahu akhirnya mengembuskan nafasnya yang terakhir pada tanggal 2 januari 1818. Mayatnya pun dibuang di laut Banda. Dialah Si Mutiara dari Nusa laut itu.


***


(Ibnu Sururi Asy-Syirbuny)

Komentar

  1. Terima kasih goresannya sy mengagumi setiap insan yg menghargai pahlawannya.

    BalasHapus
  2. Sama-sama.. memang nenek moyang kita adalah orang-orang hebat.. mudah-mudahan menjadi pemicu spirit bagi kita semua.. Terima kasih berkenan mampir..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apakah Yesus Anak Allah ?

FENG SHUI; ANTARA ILMIAH DAN MITOS