‘THE GRAND DAME’ DARI BUMI ACEH


Malam itu begitu hening. Mayat-mayat bergelimpangan di bumi Kesultanan Aceh. Bau anyir pun tercium sangat menyengat. Sejenak Laksamana Malahayati menatap wajah suaminya untuk yang terakhir kalinya. Ada senyum tipis di bibirnya. Dia mengusap goresan-goresan luka di pipi suaminya itu. Matanya sembab. Berkaca-kaca memilukan. Dendam kesumat bergemuruh hebat di dadanya. Sementara para wanita lainnya berlarian untuk mencari jasad suami masing-masing. Seketika suara tangisan pun memecah kesunyian. Memekik keras hingga mengangkasa.

Malahayati terduduk lemas. Kepalanya tertunduk penuh kesedihan. Bulir air bening menetes pelan hingga jatuh di atas kening mayat suaminya itu. Air mata itu telah bercampur dengan lumuran darah. Ini adalah saatnya pembalasan.” Gumam Malahayati dari sanubarinya yang terdalam.

Perlahan ia angkat kepalanya. Ia pun berdiri tegap lalu berteriak,
“Hey, para Inong Balee. Malam ini menangislah sejadi-jadinya. Esok, penjajah kape itu kita hancurkan sehancur-hancurnya.”
Semua pandangan kini tertuju pada Malahayati.


“Berbahagialah, sejatinya para suami kalian telah menang. Mati dalam keadaan syahid adalah kemenangan!” Tegas Malahayati sembari menyapu pandangan di sekelilingnya.

Sejenak kemudian, para wanita janda itu mengusap air matanya. Tatapan mata mereka menyiratkan ketegasan. Tegas dalam melawan segala kedzaliman.

Malam semakin gelap. Satu persatu mayat tersebut dibawa menggunakan tandu ke kampung masing-masing. Hujan pun turun, langit turut serta meneteskan air mata.

***

‘Laskar Inong Balee’, demikian mereka menyebut pasukan yang semuanya terdiri dari 2000 kaum wanita janda itu. Mereka tengah berdiri di pesisir pantai guna menyambut genderang perang melawan serdadu imperialis Belanda yang bernafsu ingin menguasai jalur Selat Malaka dan Aceh. Nanar mata Malahayati menyiratkan dendam kesumat. Gelora jihadnya melebihi deburan ombak yang bergerak bergulung-gulung.

Tak lama kemudian, dari kejauhan terlihat banyak sekali titik-titik hitam yang mengapung di lautan. Pasukan asing yang dipimpin langsung oleh Jenderal Cornelis de Houtman itu sepertinya akan mulai merangsek masuk ke bumi Aceh. Melihat kondisi seperti itu, Laksamana Malahayati segera mengambil inisiatif untuk menyambut serdadu Belanda itu di tengah lautan. Dengan pekikan takbir, Laksamana Malahayati mengintruksikan laskarnya untuk menjemput peperangan.

Perlahan, kapal perang Laskar Inong balee bergerak semakin mendekati serdadu Belanda. Pasukan Belanda melihat musuh yang berada di hadapannya ini ternyata hanya kaum wanita. Terbersit ada rasa kesombongan dan meremehkan. Sementara itu, dari pihak Laskar Inong Balee tengah bersiap-siap dengan senjata rencong, panah, pedang, dan lainnya. Laksamana Malahayati memberi komando untuk segera melepas anak panah ke arah musuh.

“Praaaang… Praaaaang.”

Kedua pasukan itu akhirnya bertemu pada satu titik pertempuran. Di tengah derasnya gemuruh ombak, para wanita perkasa itu bertarung tanpa ampun melawan pasukan Belanda yang tinggi besar itu. Desingan pedang terdengar melengking di tengah lautan. Burung-burung pemakan bangkai pun berkerumun di atas dua pasukan perang itu.

Laksamana Malahayati bertekad, meskipun mati saat ini, dia akan menjadi seorang syahid di mata Allah SWT.

“Wahai Laskar Inong Balee, menang atau kalah, hidup atau mati. Kita selalu dalam kemenangan.! Teriak Laksamana Malahayati mengobarkan semangat jihad pasukannya.

Gelora peperangan semakin sengit. Pasukan Belanda yang sebelumnya meremehkan semakin terdesak menghadapi wanita-wanita janda itu. Laksamana Malahayati naik ke atas geladak kapal Belanda. Dia mencari seorang Jenderal Cornelis de Houtman yang bengis itu. Beberapa saat kemudian, dia akhirnya menangkap sosok itu dari pandangan matanya. Laksamana Malahayati bergerak sendirian dengan senjata rencong yang berada di sarungnya.

Suasana peperangan semakin sengit. Serdadu Belanda terlihat kacau balau menghadapi serbuan Laskar Inong Balee. Dengan mengucap bismillah, Laksamana Malahayati bergerak cepat kemudian segera menghujamkan rencongnya tepat di dada Jenderal Cornelis de Houtman.

“Aaaaah…” Sang Jenderal berteriak histeris.

Keadaan hening sesaat, semua pandangan terpusat pada sosok Jenderal Cornelis de Houtman yang terjatuh dan terkapar bersimbah darah. Dan selanjutnya, Jenderal serdadu Belanda itu akhhirnya tewas di tangan Laksamana Malahayati. Dengan kondisi demikian, prajurit Belanda semakin melemah kemudian menyerah kalah. Alih-alih bisa meruntuhkan Aceh, armada Belanda malah porak poranda digebuk armada Laksamana Malahayati pada tanggal 11 September 1599.

Ya, Laksamana Malahayati memang pantas dijuluki ‘The Grand Dame”, artinya wanita yang agung.

***

Laksamana Malahayati, nama aslinya adalah Keumala Hayati, hidup di masa Kerajaan (Kesultanan) Aceh yang dipimpin oleh Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV (1589-1604 M). Malahayati adalah Laksamana Perempuan Pertama Di Dunia. Dia juga sukses menghalau Portugis dan Inggris masuk ke Aceh. Selain itu, dia juga mendirikan sebuah benteng yang dikenal dengan Benteng Inong Balee di Desa Lamreh, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar. Benteng tersebut menghadap ke barat, ke arah Selat Malaka. Benteng ini merupakan benteng pertahanan sekaligus sebagai asrama penampungan janda-janda yang suaminya gugur dalam pertempuran.

(Ibnu Sururi Asy-Syirbuny)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mutiara dari Nusa Laut (Jejak Juang Martha Christina Tiahahu)

Apakah Yesus Anak Allah ?

FENG SHUI; ANTARA ILMIAH DAN MITOS