DISKRIMINASI JILBAB DI DUNIA BARAT
Suatu
hari, Otoritas bandara Prancis memaksa seorang muslimah mencopot jilbab mereka
ketika hendak naik pesawat. Kebijakan itu segera memicu kemarahan komunitas
muslim. “Umur saya 65 tahun, apakah ada sesuatu di balik jilbab perempuan tua
ini,” papar Narin Yuksel, salah seorang korban kebijakan diskriminatif tersebut
saat berada di bandara Atlantique, Nantes, seperti dikutip onislam.net, Ahad 1
Juli 2012.
Narin mengatakan pihak bandara tidak mengizinkannya naik pesawat
bila ia tidak melepas jilbab. Permasalahan itu mengemuka ketika otoritas
keamanan bandara (SGA) menerapkan kebijakan kolektif menjurus Islamofobia di
Prancis (CCIF) di Bandara Atlantique, Nantes. Kebijakan itu mewajibkan muslimah
melepas jilbab sebelum memasuki proses pemindaian tubuh dan barang-barang
bawaan.
Dunia Barat kerap kali mencap umat Islam tidak toleran dengan
pemeluk agama lain. Padahal kenyataan sesungguhnya, terjadi intoleransi luar
biasa di masyarakat Barat. Kasus terakhir adalah larangan berjilbab di Negara
Perancis. Bahkan mereka membuat undang-undang resmi untuk melegalkan
diskriminasi tersebut. Presiden Prancis saat itu, Nicolas Sarkozy,
mengajukan Rancangan Undang-Undang mengenai larangan memakai jilbab di
hadapan parlemen Perancis.
Sungguh sangat menggelikan, sebuah Negara sekular yang
membangga-banggakan kebebasan justru menunjukkan sikap diktator. Padahal dunia
Barat pernah membuat sebuah deklarasi universal hak asasi manusia yang
mengatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama;
dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dengan
kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaann dengan cara mengajarkannya,
melakukannya, beribadat dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama
dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.”[1]
Namun anehnya, dunia Barat nampaknya tidak terlalu mempermasalahkan
diskriminasi itu. Karena larangan diskriminasi memang berlaku bagi seluruh umat
manusia, kecuali umat Islam saja. Sungguh sebuah kebijakan yang rasialis dan
intoleran yang sangat mengganggu keharmonisan hubungan antar pemeluk agama.
Tidak hanya itu, ternyata aturan itu juga sudah disiapkan sanksi
bagi para pelanggarnya. Dalam RUU itu disebutkan, pelanggar akan dikenakan
denda maksimal 150 euro (US$189/Rp1,7 juta) dan akan dipaksa menghadiri sesi
pelajaran nilai-nilai republik. Pemerintah akan mengajukan periode observasi
selama enam bulan sejak peringatan, sebelum polisi mulai memberikan denda.
Individu yang memaksa orang lain mengenakan burkha, mendapatkan hukuman
yang lebih berat. Hukuman penjara hingga satu tahun dan denda maksimum 15.000
euro (US$19.000/Rp172,5 juta).
Jika resmi menjadi UU, maka ini akan berlaku untuk semua orang di
wilayah Prancis. Ya, termasuk wisatawan. Burkha yang dikenakan oleh lebih
2.000 perempuan dari total 65 juta penduduk Prancis, dinilai sebagai bentuk
penghinaan terhadap nilai republik Prancis. Ekspresi relijius secara publik
dianggap sebagai memisahkan diri. “Burkha adalah tanda perbudakan dan penurunan
martabat,” dikatakan Presiden Prancis Nicolas Sarkozy.
Demikian wajah Barat, padahal mereka kerap mengkritisi negeri
Muslim dengan sebutan melakukan intoleransi. Mereka mengkritik ketika gay dan
lesbian dilarang di negeri Muslim. Menurut mereka, umat Islam telah melakukan
diskriminasi dan marjinalisasi kaum minoritas. Padahal di negeri mereka
sendiri, telah terjadi diskriminasi secara nyata. Atau memang, dunia barat
sudah terbiasa dengan standar ganda yang kerap dilakukan.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa ada hubungan antara
pelarangan penggunaan Jilbab di Perancis dengan meningkatnya level kekerasan
terhadap Muslimah berjilbab. Penelitian yang dilakukan oleh Departemen
Kriminologi Universitas Leicester mengungkap fakta bahwa pelarangan Jilbab
menimbulkan stigma negatif bahwa Muslimah berjilbab cenderung dianggap
kriminal.
Meski dalam undang-undang pelarangan Jilbab tidak dinyatakan
hal-hal negatif tentang Jilbab, namun undang-undang itu sendiri berdampak pada
tumbuhnya iklim anti toleransi terhadap Islam di dunia barat. “Dalam interview
saya dengan Muslimah berjilbab, saya yakin bahwa pelarangan Jilbab di Perancis
merupakan sebuah “pemicu” yang menyebabkan meningkatnya level kekerasan
anti-Islam terhadap wanita yang mengenakan penutup wajah,” kata Zempi.
Menurut pandangan Zempi, wujud jelas dari ketakutan terhadap Islam
oleh Barat adalah pelarangan Jilbab, sehingga beliau mengatakan bahwa kebijakan
tersebut sebagai sebuah “serangan” terhadap Islam. “Pelarangan Jilbab bukan
berarti sebuah produk undang-undang yang “buta agama” (sekuler), melainkan
sebuah serangan terhadap Islam melalui kode etik berbusana bagi umat Islam,”
kata Zempi lebih lanjut.
Dalam melakukan risetnya, Zempi menggunakan metode riset
kualitatif dengan wawancara terhadap Muslimah berjilbab di Perancis dan mereka
memiliki passport Perancis namun tinggal di Leicester. "Jadi, larangan
jilbab merupakan manifestasi konkret dari Islamofobia. Larangan ini murni
menyerang Islam lantaran jilbab atau burka berafiliasi dengan Islam. Padahal
Islam memandang jilbab sebagai kode wajib berpakaian bukan simbol yang
menampilkan afiliasi seseorang," paparnya.[2]
Bersambung...
[1] Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Pasal 18.
[2]http://www.onislam.net/english/news/europe/457231-veil-ban-increases-anti-muslim-hostility.html
Komentar
Posting Komentar