SIBUK DENGAN KEGIATAN POSITIF


“Kami dahulu berada di negeri Mesir selama tujuh bulan dan belum pernah sempat merasakan kuah daging. Siang kami gunakan untuk keliling menuntut ilmu ke majelis para ulama, dan malam harinya untuk pertemuan dan mencatat.  Ketika kami datang ke seorang ulama kami dikabari bahwa dia sakit, maka kami kembali dan kami temukan di jalan ada ikan dijual maka kami membelinya. Dan kami bertiga sampailah di rumah, namun kami sadari jadwal majelis berikutnya telah tiba, maka kami segera pergi tanpa sempat menyantap ikan tersebut. Demikian berlangsung tiga hari sehingga kami tidak sempat memberikan ikan ini kepada yang bisa membakarnya. Kemudian kami memakan ikan tersebut setelah tiga hari dalam keadaan sudah tidak baik kondisinya. (Ibnu Abi Hatim rahimahullah )

Ternyata, dalam urusan semangat mencari ilmu, generasi saat ini jauh di bawah para ulama Islam terdahulu. Dari waktu ke waktu mereka habiskan untuk belajar dan belajar. Mereka tidak sempat untuk menikmati lezatnya kuah daging. Bahkan, ikan yang sudah dibelinya pun baru bisa dimakan tiga hari kemudian karena terkalahkan oleh nikmatnya mencari ilmu. Luar biasa. Masih belum percaya, mari kita lihat perjuangan para ulama lainnya dalam menuntut ilmu.

Imam Nawawi, ia adalah seorang imam dan muhaqqiq madzhab Syafi’i di zamannya. Menghafal hadits, baik shahih maupun yang cacat. Karyanya sangat banyak, di antara kitabnya yang begitu populer ialah Matan al-Arbain (hadis 40), Riyadhus Salihin, Syarah Sahih Muslim dan al-Adhkar. Apa yang dilakukan Imam Nawawi, ternyata selama dua tahun Imam Nawawi tidak tidur berbaring. Ia mensedikitkan waktu tidurnya karena sibuk belajar dan menulis. 

Fakhruddin al Razi, ia menulis ratusan judul buku. Salah satu bukunya berjudul “Al Mathalibu al ‘aliyah minal ulum ilahiyah” (Puncak-Puncak Kesimpulan dalam Ilmu Metafisika) yang terdiri dari 9 jilid. Ada 200 buku dengan berjilid-jilid yang telah ia tulis. Ia pernah berkata: ‘Wallahi, Inni Aasif, filfawaadi ‘anil istighal fi waktil aql’, artinya ‘Aku menyesal, waktu belajar itu telah berlalu karena waktu makan’.

Selain itu, ada seorang jenius yang berasal dari Andalusia bernama Ibnu Rusyd. Karya-karyanya meliputi bidang filsafat, kedokteran dan fikih dalam bentuk karangan, ulasan, essai dan resume. Hampir semua karya-karya Ibnu Rusyd diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Ibrani (Yahudi) sehingga kemungkinan besar karya-karya aslinya sudah tidak ada. Ibnu Rusyd menghabiskan malam-malamnya untuk mengkaji ilmu dan menulis. Sepanjang hidupnya, hanya dua malam saja ia tidak belajar dan menulis, yakni ketika malam kematian ayahnya dan malam pengantinnya. 

Ibnu Sina (980-1037) dikenal juga sebagai Avicenna di Dunia Barat adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan juga dokter kelahiran Persia. Ia juga seorang penulis yang produktif dimana sebagian besar karyanya adalah tentang filosofi dan pengobatan.  Dia adalah pengarang dari 450 buku pada beberapa pokok bahasan besar. Ia pernah berkata: “Kemudian aku kembali membaca, sekalipun aku tertidur, aku melihat inti-inti persoalan itu dalam tidurku. Lalu banyak persoalan yang tersingkap dalam tidurku itu.” 

Subhanallah, kesuksesan yang mereka raih memang sepadan dengan perjuangannya yang gigih, tekun, dan sabar dalam menuntut ilmu. Bayangkan, seorang Imam Nawawi tidak bisa tidur berbaring selama dua tahun karena sibuk belajar. Fakhruddi al Razi menyesal karena waktu belajarnya terlewat lantaran makan. Ibnu Rusyd sepanjang hidupnya hanya dua malam saja ia tidak belajar dan menulis. Ibnu Sina yang bisa memecahkan masalah ilmu dalam mimpinya.

Kisah-kisah di atas adalah sebuah teladan yang dilakukan para ulama terdahulu. Dengan segala keterbatasan saat itu, tapi ketekunan telah terbukti membuahkan kesuksesan bagi mereka. Walaupun mereka telah tiada, namun namanya tetap harum hingga berabad-abad lamanya. Buku-bukunya masih ditelaah dan bermanfaat bagi generasi setelahnya.

Bandingkan dengan kondisi generasi zaman ini, meski telah terbantu dengan berbagai fasilitas canggih, namun kita belum bisa mengalahkan prestasi ulama terdahulu. Zaman dahulu tidak ada kendaraan cepat seperti mobil, motor, dan lainnya. Di masa para ulama tidak ada komputer, laptop, dan sejenisnya. Namun demikian, mereka sanggup melahirkan ratusan bahkan ribuan buku selama hidupnya.

Bagaimana dengan kita yang saat ini dimanjakan oleh berbagai fasilitas modern. Bukannya semakin memacu, adanya teknologi itu malah membuat kita malas untuk belajar dan berkarya. Bahkan tidak sedikit yang menyalahgunakan teknologi. Adanya internet digunakan untuk games online yang menyita waktu, menonton video-video yang tidak jelas, dan aktiftas tidak produktif lainnya.

Maka, mulai saat ini mari kita mensyukuri nikmat teknologi ini. Belajar tidak melulu didapat dari kelas. Kita tidak harus membeli buku mahal-mahal. Sebagai contoh, keberadaan internet sangat membantu aktifitas belajar. Berbagai macam informasi ilmu pengetahuan bisa kita dapatkan dari sana. Kita bisa membaca semuanya dengan sepuasnya, meski kita berada di dalam kamar sekali pun.

Dengan demikian, kunci sukses seorang pelajar adalah jika ia sukses dalam mengoptimalkan waktunya untuk hal-hal positif. Ia tidak ada waktu untuk melakukan hal-hal yang tidak berguna. Tahukah kamu, Ny. R.A Tuti Marini, ibunda dari Ing. BJ. Habibie, pernah mengatakan bahwa Habibie adalah anak yang lebih serius dalam hal belajar. Sampai-sampai di balik pintu pun ia bisa membaca buku dengan asyiknya. Apakah kamu ingin menjadi the next Habibie, belajarlah sungguh-sungguh dan optimalkan waktumu untuk kegiatan positif.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mutiara dari Nusa Laut (Jejak Juang Martha Christina Tiahahu)

Apakah Yesus Anak Allah ?

FENG SHUI; ANTARA ILMIAH DAN MITOS