CUT NYAK DIEN; YOU’RE NEVER DIE



Suatu malam di bumi Aceh Darussalam, langit terlihat semakin menghitam. Awan tebal menghijab cahaya bulan dan bintang. Sungguh pekat dan gelap. Sesekali terdengar gelegar halilintar mengancam alam semesta. Percikan kilatnya seakan membelah langit-langit angkasa. Lolongan serigala pun terdengar bersahut-sahutan dan mengerikan. Cut Nyak Dien dan pejuang perempuan lainnya berada di tenda-tenda kecil di tengah hutan belantara. Mereka ditemani temaram lampu yang sayup-sayup memberi penerangan. Sebagian orang lagi berada di luar tenda, mereka tengah berupaya menghentak-hentakkan batu agar bisa menghasilkan api untuk memasak.

“Bagaimana, apakah sudah berhasil?” Tanya Cut Nyak Dien dari dalam tenda kepada rekannya yang berada di luar.
“Apinya belum menyala, bersabar sejenak ya.” Sahut seorang perempuan.

Ketahuilah, di tengah belantara itu, mereka bukan sedang ber-camping, apalagi bersenang-senang. Cut Nyak Dien dan pejuang perempuan lainnya tengah berada dalam pelarian atas kejaran kaum imperialis Belanda. Mereka bersembunyi di hutan-hutan, bergerilya, dan melakukan perlawanan menentang kedzaliman bangsa penjajah.

Saat itu, Cut Nyak Dien hanya hidup seorang diri. Sudah bertahun-tahun lamanya, ia telah ditinggal oleh suaminya, Teuku Umar. Suaminya itu mati syahid di tangan pasukan Belanda dalam pertempuran sengit di Meulaboh. Dalam perjuangannya Teuku Umar berpura-pura bekerjasama dengan Belanda sebagai taktik untuk memperoleh senjata dan perlengkapan perang lainnya. Sementara itu, Cut Nyak Din berjuang melawan Belanda di kampung halaman Teuku Umar. Teuku Umar akhirnya kembali lagi bergabung dengan para pejuang Aceh lainnya setelah berhasil mendapatkan peralatan perang dan taktiknya diketahui Belanda, hingga akhirnya gugur di medan perang. Raganya terkoyak, tersayat, dan mati, namun jiwanya mudah-mudahan diangkat oleh Allah di tempat yang mulia.

Meski hidup tanpa suaminya tercinta, Cut Nyak Dien tidak bertambah lemah. Ia justru semakin tegar dan berani, api perjuangannya tak pernah surut sedikit pun.Ia mengordinasikan serangan besar-besaran terhadap beberapa kedudukan Belanda. Segala barang berharga yang masih dimilikinya dikorbankan untuk mengisi kas peperangan.

Perlawanannya yang dilakukan secara bergerilya itu dirasakan Belanda sangat mengganggu bahkan membahayakan pendudukan mereka di tanah Aceh, sehingga pasukan Belanda selalu berusaha menangkapnya tapi sekalipun tidak pernah berhasil. Keterlibatan Cut Nyak Dien dalam perang Aceh nampak sekali ketika terjadi pembakaran terhadap Mesjid Besar Aceh. Dengan amarah dan semangat yang menyala-nyala berserulah ia,

“Hai sekalian mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu mesjid kita dibakarnya! Mereka menentang Allah Subhanahuwataala, tempatmu beribadah dibinasakannya! Nama Allah dicemarkannya! Camkanlah itu! Janganlah kita melupakan budi si kafir yang serupa itu! Masih adakah orang Aceh yang suka mengampuni dosa si kafir yang serupa itu? Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi budak Belanda?” (Szekely Lulofs, 1951:59).

Suatu hari, para pejuang perempuan akan maju ke medan pertempuran, namun anehnya Cut Nyak Dien nampak sedih dan bermuram durja. Air matanya mengalir di sudut-sudut pipinya yang mulai keriput dan menua. Ia menangis bukan karena menyesali kondisinya, namun karena dirinya tidak bisa ikut dalam medan perjuangan. Sebab saat itu, kedua matanya memang sudah dalam keadaan buta.

“Kami mohon pamit hendak ikut dalam medan jihad, mohon do’anya mudah-mudahan Aceh merdeka.” Ujar seorang pejuang perempuan yang tidak dapat menahan kesedihannya menyaksikan penderitaan yang dialami Cut Nyak Dien.

Lama kemudian, pejuang Aceh Darussalam semakin terpojok. Banyak para pejuang yang berguguran. Kekuatan mereka tidak berimbang jika dibandingkan dengan kekuatan penjajah Belanda yang sangat besar disertai persenjataan yang lengkap. Cut Nyak Dien pun memutuskan untuk keluar dari hutan lalu memberitahu serdadu Mersose Belanda tentang tempat persembunyiannya itu. Pasukan Belanda pun segera masuk hutan dan mendapati Cut Nyak Dien yang sudah tua, matanya buta, dan badannya sangat ringkih karena kurang makan. Tatkala opsir Belanda hendak memapah perempuan perkasa itu, Srikandi Aceh itu dengan tegas berkata,

“Bek Kamat ke, kapeh celaka!” (Jangan pegang tanganku, kafir Celaka!”).

Orang Belanda itu pun kaget melihat ekspresi tegas perempuan buta itu. Dengan tertatih dan berkali-kali tersandung dan jatuh, Cut Nyak Dien bersikeras berjalan sendiri sampai akhirnya bisa keluar dari persembunyian tanpa dipegangi tangan opsir Belanda itu.

Keteguhan Cut Nyak Dien ini membuat kagum Buya Hamka sehingga menulis sebuah kalimat,

“Pikirkanlah dengan dalam! Betapa jauh perbedaan latar belakang wanita Aceh 358 tahun yang lalu itu dengan perjuangan wanita zaman sekarang. Mereka itu didorong oleh semangat jihad dan syahid karena ingin bersama menegakkan agama Allah dengan kaum laki-laki, jauh daripada arti yang dapat kita ambil dari gerakan emansipasi wanita atau feminisme zaman modern sekarang ini.”

Cut Nyak dien akhirnya wafat di pengasingan. Ia tetap dikenang rakyat Indonesia sebagai pejuang yang berhati baja sekaligus ibu dari rakyat Aceh. Pemerintah RI menganugerahi gelar pahlawan kemerdekaan nasional berdasarkan SK Presiden RI No 106/1964.

Ibunda Cut Nyak Dien, You’re never die.


***
By Ibnu Surury Asy-Syirbuny




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mutiara dari Nusa Laut (Jejak Juang Martha Christina Tiahahu)

Apakah Yesus Anak Allah ?

FENG SHUI; ANTARA ILMIAH DAN MITOS