BOLA LIAR SEKULARISASI

Pada awalnya, sekularisasi hanya melanda pada dimensi Negara, politik dan agama. Agama dan negara dinilai sebagai sesuatu yang dikotomis, bahkan saling konfrontasi. Urusan Negara dan politik diserahkan sepenuhnya kepada penguasa politik, alias Gereja yang dipimpin oleh para Pastor. Sedangkan agama dibatasi pada ruang lingkup ritual dan spiritual. Tidak ada satu hubungan yang harmonis di antara keduanya.

Pada masa selanjutnya, Sekularisasi mulai melanda ke berbagai dimensi kehidupan. Selain Negara dan politik, sekularisasi sudah merambah ke arah Sains, pendidikan, ekonomi, kebudayaan, bahkan Psikologi. Hampir semua dimensi kehidupan tak luput dari sengatan sekularisasi. Parahnya, Negeri-negeri muslim yang menjadi korban berikutnya.

Satu contoh adalah sains yang telah dipelajari oleh berbagai kalangan. Disadari atau tidak, sains modern telah hilang dari segi Transendennya. Hal ini tidak lepas dari sejarah sains Barat yang kelam. Pada masa itu, keotoritaran gereja telah memberangus seluruh hasililmu pengetahuan. Para ilmuwan ditindak secara tegas, bahkan kejam. Terutama sekali yang bertentangan dengan doktrin gereja. Pada akhirnya, terdapat trauma dan dendam kesumat dalam diri para ilmuwan sains terhadap doktrin gereja dan jajarannya. Maka, ketika sains mulai muncul, lalu mendominasi, pihak utama yang harus disingkirkan adalah gereja, selanjutnya agama secara keseluruhan. Agama hanya akan menjadi parasit yang mengganggu berkembangnya sains. Sehingga inilah yang dinamakan dengan sekularisasi sains, kosong dari nilai-nilai transendental.



Melihat kondisi sains seperti itu, menurut Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, seorang intelektual muslim asal Negeri Jiran Malaysia, maka langkah yang dilakukan adalah “Islamization Sainses”. “Sains sekarang telah hilang dari segi transendennya, maka jangan kaget jika ada istilah Islamization Sainses,” ujarnya dalam sebuah seminar bertajuk “Dewesternisasi, Dekolonialisasi, Islamisasi.”, diselenggarakan olehFakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIBUI), bertempat di Gedung Sulaiman Soemardi Multimedia Center, Kamis (18/12). Hadir pula Prof. Dr. Ahmad Suhelmi, Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara dan Dr. Khalif Muammar. Dalam pandangan Prof. Dr. Wan Daud, tujuan utama mempelajari sains bukan sekedar untuk menjadi manusia berilmu, tapi juga yang baik akhlaknya.

Ironisnya, pada era sekarang ini, antara sains dan agama terdapat garis dikotomis yang semakin tebal dan melebar. Kita lihat mata pelajaran sains, dari mulai Sekolah Dasar (SD) sampai perguruan tinggi, dunia sains berjalan sendirian, tanpa diimbangi dengan nilai-nilai moral dan spiritual. Imbasnya, banyak orang yang berpendidikan tinggi, tapi tidak bermoral. Golongan demikian disebut, “schooled and yet uneducated”, bersekolah tapi tidak terdidik.

Sekularisasi sains akan semakin menjauhkan manusia dari arah yang benar. Apalagi jika dikaitkan dengan Islam, dan implikasinya bagi kaum muslimin. Worldview Islam memiliki perbedaan dan kekhasan tersendiri daripada worldview Barat. Sains Barat yang telah mengalami trauma tidak bisa dipaksakan ke dalam umat Islam. Bahkan justru kebangkitan sains Islam pada masa abad pertengahan dahulu terinspirasi oleh nilai-nilai Islam yang universal dan relevan. Bukan karena berpisah dengan agama.

Sekularisasi Politik

Politik adalah korban pertama dari cengkraman sekularisasi. Hal ini merupakan sebuah counter attack atas apa yang dilakukan oleh sistem teokrasi gereja. Selanjutnya, tidak boleh tidak, dunia politik harus terbebas dari nilai-nilai agama yang katanya mengekang itu, kemudian digeneralisir ke dalam agama apapun.

Dr. Khalid Muammar, dalam sebuah tulisannya berjudul “Dewesternisasi Politik Kontemporer; Islam dan Konstitusionalisme”, ia menulis, “Dalam Islam Negara dan agama tidak harus dilihat secara terpisah. Ini karena Islam tidak mengenal dualisme antara agama dan Sains, wahyu dengan akal. Islam meletakkan kedua-duanya dalam satu kesatuan tawhid. Atas dasar ini ramai pemikir Islam, seperti Imam al-Ghazali dan Ibn Taymiyyah, menegaskan bahwa akal yang jelas (sarih) tidak akan bertentangan dengan wahyu yang shahih. Berbeda dengan filosof Barat yang sejak awal lagi telah mengemukakan teoridouble truth (dua kebenaran) yang mengakibatkan dualisme dan dikotomi. Pendekatan bersepadu (tawhidic paradigm) ini tidak seharusnya ditafsirkan bahwa Islam mendukung sistem teokrasi. Karena dalam Islam tidak ada tempat bagi sistem pemerintahan yang meletakkan golongan agama (clergy) sebagai pemerintah atas nama Tuhan. Justru ia harus ditafsirkan sebagai kebijaksanaan dalam pemikiran politik.”

Akibat dari sekularisasi politik akan melahirkan politik bebas nilai. Politik kosong dari nilai-nilai spiritual dan moralitas. Menurut Dr. Khalif, pemisahan agama dari politik telah menimbulkan banyak malapetaka. Sejak abad ke-16 dengan ditulisnya buku The Prince, Machiavelli telah memberikan justifikasi terhadap sikap absolutis penguasa demi kelanggengan kekuasaannya. “Malah Machiavelli menyarankan agar para penguasa membunuh keluarga penguasa sebelumnya karena mereka akan menjadi ancaman kepada kekuasaanya,” tukasnya.

Dari keterangan di atas, jelas sekularisasi politik hanya akan menghasilkan malapetaka, terutama sekali jika diaplikasikan ke dalam dunia Islam. Sebab dalam pemikiran politik Barat, persoalan moral dan keadilan bukan merupakan yang utama.

Sekularisasi Psikologi

Ironis, bola liar sekularisasi juga telah menghantam psikologi modern. Awalnya, psikologi merupakan bagian dari filsafat yang didominasi oleh pandangan sokrates, Plato dan Aristoteles. Dan pada dasarnya psikologi atau ilmu jiwa masih dipandang sebagai sebuah substansi non-fisik dan bisa dan biasa dikontraskan dengan tubuh.

Selanjutnya, pada abad ke-20, psikologi telah memisahkan diri dari filsafat dan menjadi cabang ilmiah atau sains dengan menerapkan metode ilmiah empiris sebagai sarat bagi diterimanya psikologi sebagai sains modern. Untuk keperluan tersebut, maka Psikologi yang pada asalnya mempelajari ilmu jiwa disekulerkan menjadi penduniawian ilmu jiwa atau jiwanya itu sendiri yang bersifat sakral dan spiritual menjadi bersifat profan dan fisik-material.

Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara mengatakan, “saya ingin mengatakan bahwa pencapaian-pencapaian ilmiah di bidang psikologi modern memang sangat luar biasa. Tetapi di samping pencapaiannya itu, ia juga memiliki sisi-sisi negatifnya yang perlu kita sadari dan waspadai agar tidak terjerembab dalam perangkapnya. Sekularisasi. Sekularisasi di bidang psikologi ini telah menimbulkan banyak kerugian, terutama bisa dilihat dari prespektif keagamaan dan kerohanian.

Pensekuleran psikologi ini telah secara sistematis, melenyapkan jiwa sebagai substansi immaterial dari diri manusia. Dan penolakan ini juga akan berakibat pada penolakan lainnya, yaitu penolakan pada imortalitas (keabadian jiwa). Sedangkan penolakan keabadian jiwa ini pada gilirannya akan berarti penolakan pada hari akhir. Karena pada kematian, maka apalah artinya kepercayaan kita pada hari akhir. Kepercayaan kita pada akhirat hanya akan punya arti kalau kita percaya bahwa jiwa kita tidak hancur pada saat kematian, sebaliknya ia akan terus hidup untuk mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatannya.”

Politik, Sains dan Psikologi telah mengalami sekularisasi. Masih banyak lagi sendi kehidupan lain yang terjangkit virus mematikan ini. Islam, sebagai sebuah agama dan peradaban yang memiliki worldview dan framework tersendiri harus segera mengikis dan mengarahkannya ke arah yang benar. Itu semua tugas kita semua, umat Islam. (Tulisan tempo duluku)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mutiara dari Nusa Laut (Jejak Juang Martha Christina Tiahahu)

Apakah Yesus Anak Allah ?

FENG SHUI; ANTARA ILMIAH DAN MITOS