PLURALISME AGAMA; MEMBONGKAR MONOTHEISME ISLAM (Bagian Kedua dari Seri Kajian "Tren Syirik Modern")

Monotheisme atau tauhid adalah prinsip baku dalam Islam. Ia adalah pilar pengakuan terhadap keesaan Allah SWT. Seseorang tidak bisa lagi disebut orang Islam jika ketauhidan sudah menghilang dari dirinya. Akhir-akhir ini, umat Islam sedang menghadapi ‘teror’ sebuah ideologi yang berupaya membongkar bangunan tauhid yang sudah berdiri kokoh selama ini. Ia adalah pluralisme agama, yakni sebuah ideologi impor produk Barat yang membawa misi penghancuran terhadap sendi-sendi ketauhidan.

Maka dalam pembahasan ini penulis akan mengangkat tema kontoversial ini agar bisa ditelaah secara kritis. Dalam perspektif Barat sendiri, pluralisme agama memiliki sejumlah makna yang khas. Pluralisme agama berarti inklusivisme agama (religious inclusivism) yakni suatu pandangan alam (worldview) yang mengatakan bahwa sebuah agama bukanlah satu-satunya yang benar dan menjadi sumber eksklusif kebenaran. Dengan demikian setidaknya ada beberapa kebenaran dan nilai-nilai kebenaran berada pada agama lain.[1] Ada yang mengartikan toleransi agama (religious tolerance) yakni kondisi ko-eksistensi yang harmonis antara penganut agama yang berbeda atau sekte-sekte agama.



Ideologi ini bisa berarti semua agama sama-sama benar (Religions are equally valid).[2] Pluralisme agama juga berarti agama-agama berkumpul pada sebuah kebenaran tunggal (Religions converge on a single truth), yakni semua jalan spiritual  akhirnya  mengarah  ke  tanah  suci  yang sama " (Susan Laemmle, Rabbi dan Dekan Agama  Live at USC).[3] Menurut Rick Rood, pluralisme agama  adalah  pandangan bahwa semua agama  sama-sama benar sebagai cara menuju  Tuhan.

Pluralisme agama juga mengatakan bahwa kebenaran agama adalah relatif (religion truths are relative), yakni pluralisme menyatakan bahwa kepercayaan  budaya yang berbeda adalah benar untuk satu budaya - tetapi tidak untuk budaya  yang beroperasi keluar dari berbeda paradigma. Kalangan pluralis  mengatakan  bahwa  kebenaran [agama] adalah sebuah 'konstruksi sosial. "Hal ini diciptakan melalui konsensus sosial dan tradisi, tidak ditemukan dalam kenyataan yang  ada  terlepas dari keyakinan kita." (Jim Leffel, Xenos Fellowship, sebuah kelompok Kristen  fundamentalis).[4]

Menurut Anis Malik Toha, pluralisme mengandung tiga pengertian; pertama, pengertian kegerejaan; sebutan untuk orang yang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis, berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. Ketiga, pengertian sosio politis: adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut.

Sementara itu, defenisi agama perlu dilihat dari berbagai segi. Menurut para pakar teologi, fenomologi dan sejarah agama, agama adalah sesuatu yang sakral (the sacred). Para ahli sejarah sosial (social history), mendefenisikan agama sebagai suatu institusi historis  -suatu pandangan hidup yang terlembagakan yang mudah dibedakan dari yang lain. Sementara para ahli sosiologi dan antropologi cenderung mendefenisikan agama dari sudut fungsi sosialnya , yaitu suatu sistem kehidupan yang mengikat manusia dalam satuan-satuan atau kelompok-kelompok sosial.

Bagi Anis, defenisi agama yang paling tepat adalah yang mencakup semua jenis agama, kepercayaan, sekte, maupun berbagai jenis ideologi modern seperti komunisme, humanisme, sekularisme, nasionalisme dan lainnya. Dan jika “pluralisme dirangkai dengan “agama” sebagai predikatnya, maka berdasarkan pemahaman tersebut di atas bisa dikatakan bahwa “pluralisme agama” adalah kondisi hidup bersama (koeksistensi) antar agama ( dalam arti yang luas) yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing agama.[5]

Namun dari segi konteks di mana “pluralisme agama” sering digunakan dalam studi-studi dan wacana-wacana sosio-ilmiah pada era modern ini, istilah ini telah menemukan defenisi dirinya yang sangat berbeda dengan yang dimiliki senula (dictionary definition) John Hick, misalnya, menegaskan bahwa:

“Pluralisme agama adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang, dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam terhadap, The Real atau Yang Maha Agung dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi; dan bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan-diri menuju pemusatan-Hakikat terjadi secara nyata dalam setiap masing-masing pranata kultural manusia tersebut- dan terjadi, sejauh yang dapat diamati, sampai pada batas yang sama”.[6]

Maka, Anis hendak menegaskan bahwa sejatinya semua agama adalah merupakan manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu. Dengan demikian, semua agama sama dan tak ada yang lebih baik dari yang lain.

Lutfi Syaukani, seorang pluralis dari Jaringan Islam Liberal (JIL), menulis dalam Koran Kompas (3/5/2005) mengenai pluralisme agama, “Seorang Fideis Muslim, misalnya, bisa merasa dekat kepada Allah tanpa melewati jalur shalat, karena ia bisa melakukannya lewat meditasi atau ritus-ritus lain yang biasa dilakukan dalam persemedian spiritual. Dengan demikian, pengalaman keagamaan hampir sepenuhnya independen dari aturan-aturan formal agama. Pada gilirannya, perangkat dan konsep-konsep agama, seperti kitab suci, nabi, malaikat, dan lain-lain tak terlalu penting lagi karena yang lebih penting adalah bagaimana seseorang bisa menikmati spiritualitas dan mentransendenkan dirinya dalam lompatan iman yang tanpa batas itu.”[7]

Sukidi juga pernah menulis dalam Koran Jawa Pos (11/1/2004), “Dan, konsekuensinya, ada banyak kebenaran (many truths) dalam tradisi dan agama-agama. Nietzsche menegasikan adanya ‘kebenaran tunggal’ dan justru bersikap afirmatif terhadap banyak kebenaran. Mahatma Gandhi pun seirama dengan mendeklarasikan bahwa semua agama –entah Hinduisme, Buddhisme, Yahudi, Kristen, Islam, Zoroaster maupun lainnya- adalah benar. Dan konsekuensinya, kebenaran ada dan ditemukan pada semua agama.[8]

Abd. Moqsith Ghazali, dalam bukunya, Argumen Pluralisme Agama, mengemukakan bahwa salah satu unsur pokok pluralisme agama adalah munculnya satu kesadaran bahwa agama-agama berada dalam posisi dan kedudukan yang paralel. Namun begitu, setiap agama memiliki syari’atnya sendiri-sendiri. Dengan demikian, perbedaan setiap agama terletak pada syari’at yang ditempuhnya.[9] Ia juga mengutip dari Ahmad Amin yang menyatakan bahwa semua agama adalah jalan menuju Tuhan. Sebagian agama mungkin lebih maju dari yang lain sejalan dengan konteks zamannya. Semua agama membimbing manusia menuju Tuhan. Meskipun ritus-ritus yang mereka jalankan berbeda-beda, semuanya diarahkan pada Tuhan yang Satu.[10]

Moqsith juga membawakan defenisi dari Nurcholis Madjid yang mengatakan bahwa pluralisme agama adalah suatu sistem nilai yang memandang keberagaman atau kemajemukan agama secara positif sekaligus positif dengan menerimanya sebagai kenyataan (sunnatulla>h) dan berupaya agar berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu.[11]

Moqsith memaparkan sikap-sikap terhadap pluralitas agama, yaitu sikap eksklusif, inklusif dan paradigma pluralis. Ketika menjelaskan paradigma pluralis, ia mengatakan bahwa setiap agama memang punya jalan sendiri-sendiri. Jalan-jalan menuju Tuhan beragam, banyak dan tak tunggal. Semuanya bergerak menuju tujuan yang satu, Tuhan. Tuhan yang Satu memang tak mungkin dipahami secara tunggal oleh seluruh umat beragama. Karena itu, paradigma pluralis menegaskan bahwa yang lain itu harus dipahami sebagai yang lain. Paradigma pluralis tak menilai agama lain. Semua agama memiliki hak yang sama untuk tumbuh dan berkembang, termasuk hak pemeluk agama untuk menjalankan agamanya secara bebas.[12]

Selain itu, Moqsith, dalam salah satu pembahasan mengenai ‘wacana non Muslim masuk surga’, setelah memaparkan sejumlah dalil normatif dan argumentasi para ulama, ia menyimpulkan bahwa surga tak dimonopoli oleh komunitas suatu agama. Ia adalah milik publik yang bisa dihuni umat agama mana saja yang beriman dan beramal shaleh. Umat Islam yang tak melakukan amal shaleh tak secara otomatis masuk surga, bahkan bisa masuk ke dalam neraka. Sebaliknya, orang non-Islam yang beriman dan beramal shaleh akan masuk surga.[13]

Melihat defenisi dan deskripsi yang dibawakan para pegiat pluralisme agama di atas, maka dapat dipastikan bahwa pluralisme agama adalah sebuah paham teologi yang mempromosikan bahwa semua agama adalah benar, apapun bentuk agamanya akan mengantarkan menuju satu titik yang sama. Dan semuanya memiliki peluang sama untuk masuk ke dalam surga Tuhan kelak, baik itu seorang Muslim, Kristiani, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, dan lainnya. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan apa yang dinyatakan dalam Islam bahwa hanya Islam agama yang benar dan hanya kaum Muslim yang bisa masuk surga kelak.

Majelis Ulama Indonesia, dalam fatwanya mengenai sekularisme, pluralisme dan liberalisme, menyebutkan pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Paham ini juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.[14]

Pluralisme agama yang didefenisikan oleh MUI di atas mendapat bantahan dari kalangan liberal-pluralis. Syafi’i Anwar misalnya, menyatakan bahwa pluralisme agama bukanlah menyamakan semua agama, melainkan lebih kepada saling menghormati (mutual respect). Ulil Abshar Abdalla menyatakan, pluralisme artinya sikap positif  dalam menghadapi perbedaan, yakni sikap ingin belajar dari yang lain yang berbeda.[15]

Adian Husaini, dalam bukunya “Islam Liberal, Pluralisme Agama dan Diabolisme Intelektual”, menilai bahwa defenisi Syafi’i Anwar dan Ulil Abshar Abdalla tentang pluralisme agama jauh melenceng dari defenisi makna akademis dan makna empiris dalam kajian teologi. Padahal, pluralisme agama adalah salah satu program inti dari proyek dan gerakan liberalisasi Islam di Indonesia.[16]

Dalam bukunya yang lain, Adian mengatakan, pluralisme agama (religious pluralism) adalah istilah khusus dalam kajian agama-agama. Sebagai terminologi khusus”, istilah ini tidak dapat dimaknai sembarangan, misalnya disamakan dengan makna istilah ‘toleransi”, ‘saling menghormati’ (mutual respect), dan sebagainya. Sebagai satu paham (isme), yang membahas cara pandang terhadap agama-agama yang ada, istilah pluralisme agama telah menjadi pembahasan panjang di kalangan para ilmuwan dalam studi agama-agama.[17]

Kaum pluralis memang tidak konsisten dengan defenisi pluralisme agama. Ada kalanya mereka mengatakan bahwa pluralisme memang memandang agama pada posisi yang sama, semuanya benar dan mengarah kepada Tuhan yang sama. Agama-agama yang ada hanya berbeda pada konsep ritual atau syari’at, sementara pada hakekatnya menuju pada satu tujuan, sebagaimana yang penulis kutip di atas. Namun kerap kali pula mereka mengungkapkan bahwa  pluralisme agama tidak jauh beda dengan toleransi, yakni sikap saling menghormati dalam memandang keragaman dan perbedaan agama.

Menurut Syamsuddin Arif, pluralisme memang tidak gebyah-uyah menyamakan semua agama. Sebab, andai kata semua agama sama, maka pluralitas tidak ada. Namun, kaum pluralis tidak sekedar mengakui keberadaan berbagai agama. Lebih dari itu, mereka menganggap semua agama mewakili kebenaran yang sama, meskipun ‘porsinya’ tidak sama. Semuanya menjanjikan keselamatan dan kebahagiaan, walaupun ‘resepnya’ berbeda-beda. Terdapat banyak jalan menuju Tuhan. Semuanya oke, tidak ada satu pun yang buntu atau menyesatkan. All religions are equally effective means to salvation, liberation, and happiness, menurut paham ini.[18]

Sejarah Perkembangan Pluralisme Agama

Sejarah pluralisme dimulai pada abad ke-18 Masehi yang dikenal dengan Enlightenment (pencerahan). Paham ini muncul disebabkan oleh kondisi masyarakat yang carut-marut akibat memuncaknya sikap-sikap intoleran dan konflik-konflik etnis dan sekterian yang pada akhirnya menyeret pada pertumpahan darah antar ras, sekte dan madzhab. Pada masa ini, pluralisme belum mengakar kuat dalam kultur masyarakatnya.

Selain konflik antar aliran dan madzhab dalam Kristen, faktor politik juga terkait rapat dengan latar belakang gagasan ini. Pluralisme agama adalah respon terhadap political pluralism yang telah cukup lama digulirkan (sebagai wacana) oleh para peletak dasar-dasar demokrasi pada awal-awal abad modern, dan yang secara nyata dipraktikkan oleh USA. Kecenderungan umum dunia Barat waktu itu tengah berusaha menuju modernisasi di segala bidang. Dan salah satu ciri dari modern adalah demokrasi, globalisasi, dan HAM. Maka dari sinilah lahir political pluralism. Jika dilihat dari konteks ini maka religious pluralism pada hakekatnya adalah gerakan politik dan bukan gerakan agama.

Ketika memasuki abad ke-20, gagasan pluralisme agama semakin cenderung ke arah filsafat dan teologi Barat. Tokoh penggagasnya adalah seorang teolog Kristen Liberal bernama Ernst Troeltsch (1865-1923). Ia mengatakan orang kristiani tidak berhak mengklaim paling benar sendiri. Pendapat senada banyak dilontarkan sejumlah pemikir dan teolog Kristen lainnya seperti William E. Hocking dan sejarawan Arnold Toynbee. Maka, menurut Anis Malik Toha, gerakan ini dapat dikatakan sebagai “liberalisasi agama Kristen”.[19]

John Hick, seorang pemikir teolog modern yang merekonstruksi landasan-landasan teoritis pluralisme agama sedemikian rupa, sehingga menjadi sebuah teori yang baku dan populer yang sangat kental melekat dengan namanya. Kemudian datanglah Sayyed Hossen Nasr, seorang tokoh Syi’ah yang mempopulerkan gagasan pluralisme agama di kalangan Islam tradisional yang membuatnya disetarakan dengan tokoh-tokoh pluralisme dunia seperti John Hick dan lainnya.

Menurut Nasr, memeluk atau meyakini satu agama dan melaksanakannya ajarannya secara keseluruhan dan sungguh-sungguh, berarti juga memeluk seluruh agama, karena semuanya berporos kepada poros yang sama, yaitu kebenaran hakiki. Perbedaan antar agama atau keyakinan hanyalah pada simbol-simbol dan kulit luar saja, sedangkan inti dari agama tetap satu.[20]

Membongkar Monotheisme, Melestarikan Polytheisme

Dalam pluralisme agama terdapat sejumlah bahaya yang tidak diragukan lagi. Bahkan tingkat bahayanya sudah pada level kesyirikan kepada Allah SWT. Bagaimana tidak, dengan mengimani pluralisme agama maka otomatis harus mengakui bahwa semua agama berada pada tingkat yang sama, sama-sama benar dan sama-sama membawa keselamatan. Umat Islam tidak diperkenankan untuk merasa paling benar, mereka juga harus legowo dengan kebenaran agama lain.

Selain itu, seorang insan pluralis harus pula mengakui sistem ketuhanan yang ada pada agama lain. Ketika umat Islam mengimani ketuhanan yang monotheisme, maka dengan logika pluralisme umat Islam juga harus menerima ketuhanan polytheisme pada agama lain. Dengan kata lain, selain mengimani Allah SWT sebagai Tuhan, kita juga harus mengimani dan membenarkan Tuhan-Tuhan agama lain. Ini jelas pembongkaran monotheisme Islam sekaligus pelestarian polytheisme.

Maka dari itu, Adian Husaini dalam salah satu bukunya menulis bahwa pluralisme adalah ajaran syirik kepada Allah SWT.   Antara paham Tauhid Islam dengan paham Pluralisme agama tidak mungkin bertemu. Sebab paham Pluralisme agama jelas-jelas mengajarkan syirik. Mustahil dua paham ini bisa disatukan dalam satu tubuh, sebab satu sama lain saling menegasikan. Yang satu mengakui eksklusivitas keesaan Allah dan kebenaran risalah Nabi Muhammad SAW sebagai satu-satunya jalan kebenaran dan keselamatan, sedangkan yang lain mengakui kebenaran dan validitas semua agama. Syirik adalah kedzaliman yang paling besar (zhulm al-‘adzi>m), sedangkan salah satu yang cepat mendatangkan adzab Allah adalah dosa kezhaliman.[21]

MUI menyatakan bahwa pluralisme agama adalah paham yang haram dan bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampur-adukan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain.

MUI mengeluarkan fatwanya berdasarkan dalil-dalil normatif dari Al-Qur’an dan Hadits berikut ini: “Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan terima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat  termasuk orang-orang yang rugi…” (QS. Ali Imra>n [3]: 85) “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam… (QS. Ali Imra>n [3]: 19). Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS. al-Ka>firu>n [109] : 6). “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah  dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. al-Ahza>b 33:36).

Imam Muslim (w. 262 H) dalam Kitab Shahih Muslim, meriwayatkan sabda Nabi Muhammad saw : “Demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorang pun baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari Umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa, kecuali ia akan menjadi penghuni Neraka.” (HR Muslim).

Dus, ideologi pluralisme agama adalah bentuk syirik modern yang harus diusir sejauh-jauhnya. Ia adalah racun yang dapat merusak sendi-sendi Islam dan umatnya. Kita harus mematikannya sedari awal, jangan sampai ia membesar dan meluas sebagaimana yang terjadi di dunia Barat.  Jangan lagi latah mengatakan bahwa orang yang tidak mengimani pluralisme agama diberi label intoleran. Umat Islam adalah umat yang paling toleran sepanjang sejarah tanpa harus mengamalkan pluralisme agama. Karena toleransi antar umat beragama telah diajarkan Islam, seperti dalam ayat al-Qur’an yang berbunyi la> ikra>ha fi> al-di>n (tidak ada paksaan dalam agama)[22], lakum di>nukum wa liyadi>n (bagimu agamamu dan bagiku agamaku)[23]. Toleransi yang tidak mengorbankan kesucian tauhid dan dibina di atas sikap saling menghormati dan tidak melecehkan satu sama lain. (Ibnu Sururi Asy-Syirbuny)







[1] "... the worldview according to which one's religion is not the sole and exclusive source of truth, and thus that at least some truths and true values exist in other religions.".  "Religious Pluralism," Wikipedia, at: http://en.wikipedia.org/wiki/Religious_pluralism.




[2] "Pluralism is an affirmation of the validity of every religion, and the refusal to choose between them, and the rejection of world evangelism...." "Interview with Dr. John Stott," Orange County Register, 1998-OCT-3. Online at: http://www.gospelcom.net/. Lihat http://www.religioustolerance.org/rel_plur1.htm




[3]“ ...all spiritual paths are finally leading to the same sacred ground." Susan Laemmle, Rabbi and Dean of Religious Live at USC” Diana Eck, "Education as transformation: From religious diversity to religious pluralism," at: http://www.wellesley.edu/. Lihat http://www.religioustolerance.org/rel_plur1.htm




[4] “Pluralism holds that distinct cultural beliefs are true for that culture--but not for cultures that operate out of a different 'paradigm.' Pluralists say that [religious] truth is a 'social construction.' It is created through social consensus and tradition, not discovered in reality that exists independently of our beliefs." Jim Leffel, Xenos Fellowship, a Fundamentalist Christian group. Jim Lefell, "Christian witness in a pluralistic age," Xenos Fellowship, at: http://www.xenos.org/. Lihat http://www.religioustolerance.org/rel_plur1.htm




[5] Anis Malik Toha, Tren Pluralisme Agama, Jakarta: GIP, 2005, hal 16.




[6] “Pluralism is the view that the great world faiths embody different perception and conception of, and correspondingly different resposes to, the Real or the Ultimate from within the major variant cultural ways of being human; and that within each of them the transformation of human excistence from self-centredness to reality centredness is manifestly taking place- and taking place, so far as human observation can tell, to much the same extent”. Ibid, hal. 15.




[7] Koran Kompas, 3 Mei 2005.




[8] Koran Jawa Pos (11/1/2004), dikutip dari Adian Husaini, Pluralisme Agama; Haram, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005, cet. 1, hal. 41.




[9] Ibid, hal. 62-63.




[10] Ibid, hal. 63.




[11] Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1995, hal. xxv. Ibid. hal. 67-68.




[12] Ibid, hal. 59-60.




[13] Abd. Moqsith Ghazali, op.cit, hal. 259.




[14] Lihat Fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam Musyawarah Nasional MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1246 H. /26-29 Juli 2005 M.




[15] Adian Husaini, Islam Liberal, Pluralisme Agama dan Diabolisme Intelektual, Surabaya: Risalah Gusti, 2005, hal. 12.




[16] Ibid.




[17] Adian Husaini, Pluralisme Agama; Parasit bagi Agama-Agama, Jakarta: Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, 2006, hal. 1.




[18] Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: GIP, 2008, cet. hal. 82.




[19] Anis Malik Toha, Op.cit.




[20] Ibid, hal. 24.




[21] Adian Husaini, Pluralisme Agama; Haram, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005, cet. 1, hal. 81.




[22] QS. Al-Baqarah: 255.




[23] QS. Al-Kafirun: 6.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mutiara dari Nusa Laut (Jejak Juang Martha Christina Tiahahu)

Apakah Yesus Anak Allah ?

FENG SHUI; ANTARA ILMIAH DAN MITOS