DO’A BERSAMA LINTAS AGAMA; TREN SINKRETISME MODERN

Do’a bersama lintas agama sudah menjadi tren akhir-akhir ini. Biasanya hal ini dilakukan sebagai respon atas suatu peristiwa besar yang terjadi. Do’a bersama semacam ini dihadiri oleh berbagai pemeluk agama yang berbeda, ada dari pihak Islam, Kristen, Hindu, Budha dan lainnya. Lalu masing-masing tokoh agama tersebut berdo’a kemudian diaminkan oleh orang-orang di sekitarnya yang memiliki keyakinan berbeda itu. Berikut ini salah satu acara do’a bersama lintas agama yang diadakan di Kota Semarang.


“Untuk menjaga situasi di Kota Semarang tetap kondusif dan tidak terprovokasi paska kerusuhan di Temanggung, tokoh lintas agama di Kota Semarang menggelar doa bersama, Rabu (9/2). Doa bersama yang dipimpin perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Semarang H Multazam Ahmad itu berlangsung di Wisma Kurnia Gereja Hati Kudus Yesus Jalan Kokrosono Tanah Mas Semarang.
Doa bersama yang berlangsung khidmad itu diikuti Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang Romo Aloys Budi Purnomo Pr, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengan KH Muhammad Adnan, Perwakilan agama Budha, Pandita Henry Basuki, Perwakilan agama Hindu Romangsi, Ketua Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang Tedi Kholiludin dan beberapa pendeta di Kota Semarang. Saat melakukan doa bersama para pemuka agama saling bergandengan tangan satu dengan yang lainnya.”[1]

Di tempat lain, setelah meninggalnya Abdurrahman Wahid (Gusdur), ratusan orang lintas agama dan suku bangsa bersedia melantunkan doa bersama lintas agama di Tugu Proklamasi, Jakarta, Sabtu (2/1/2010) malam. Selain berdoa, mereka juga menyatakan tekad untuk meneruskan semangat pluralisme yang diwariskan Gus Dur. Beberapa tokoh menyampaikan pikiran dan pengalaman mereka selama mengenal Gus Dur dalam acara yang diberi tajuk ”Sejuta Lilin Duka Lintas Iman untuk Gus Dur”. Para tokoh itu di antaranya Ulil Abshar Abdalla, Djohan Efendi, Pendeta Albertus Pati, Romo Beni Susetya, BM Billah, Todung Mulya Lubis, Syafii Anwar, dan Sudhamek.[2]

Sekilas tidak ada masalah dari ritual do’a tersebut. Namun jika diamati lebih kritis, do’a bersama lintas agama  memiliki sejumlah konsekuensi fatal dan serius. Ritual tersebut adalah bentuk pengamalan sinkretisme, yakni semua pemeluk agama yang berbeda berkumpul menjadi satu untuk melaksanakan ritual tertentu. Dalam hal ini, tidak mengenal adanya perbedaan agama, yang terpenting semuanya sama-sama menyembah Tuhan, meski masing-masing memiliki konsep Tuhan yang berbeda-beda. Tidak peduli apakah konsep Tuhan monotheisme atau pun polytheisme.

Lalu masing-masing do’a yang dipanjatkan oleh tokoh agama tertentu diaminkan oleh semua pemeluk agama. Ketika umat Islam berdo’a kepada Allah SWT maka umat agama lain mengaminkannya. Ketika umat Kristiani berdo’a kepada Yesus maka  umat agama lain mengaminkannya. Ketika umat Budha berdo’a kepada Tuhan Budha maka umat agama lain pun mengaminkannya. Demikian pula ketika umat Hindu berdo’a kepada dewa-dewinya maka umat agama lain pun mengaminkannya.

Para pelaku do’a bersama lintas agama itu terlalu lugu sampai tidak menyadari ada konsekuensi fatal dalam hal itu. Orang Islam yang mengikuti perbuatan tersebut berarti mereka berdo’a kepada selain Allah. Karena do’a adalah ibadah maka sang pelaku do’a itu telah beribadah kepada selain Allah SWT. Ini jelas pelanggaran berat. Allah SWT berfirman:

Dan janganlah kamu memohon/berdo’a kepada selain Allah, yang tidak dapat memberikan manfaat dan tidak pula mendatangkan bahaya kepadamu, jika kamu berbuat hal itu maka sesungguhnya kamu dengan demikian termasuk orang-orang yang dzolim (musyrik)” (QS. Yunus, 106).

Atau siapakah yang mengabulkan (do’a) orang-orang yang dalam kesulitan di saat ia berdo’a kepadaNya, dan yang menghilangkan kesusahan, dan yang menjadikan kamu sekalian menjadi kholifah di bumi ? adakah sesembahan (yang haq) selain Allah ? amat sedikitlah kamu mengingat(Nya).” (QS. An Naml, 62).

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya tentang do’a bersama lintas agama memutuskan bahwa jika do’a bersama itu dilakukan oleh orang Islam dan non Muslim maka itu tidak dikenal dalam Islam dan termasuk dalam kategori bid’ah. Do’a bersama dalam bentuk setiap pemuka agama berdo’a secara bergiliran maka orang Islam haram mengikuti dan mengamini do’a yang dipimpin oleh non Muslim. Do’a bersama dalam bentuk Muslim dan non Muslim berdo’a secara serentak (misalnya mereka membaca teks do’a bersama-sama) hukumnya haram. Do’a bersama dalam bentuk seorang tokoh Islam memimpin do’a hukumnya mubah. Do’a dalam bentuk setiap orang berdo’a menurut agama masing-masing hukumnya mubah.[3]

Dari sejumlah ritual do’a bersama lintas agama itu mayoritas diharamkan oleh MUI. Hanya dua poin terakhir yang dihukumi boleh, yakni do’a bersama dipimpin oleh seorang tokoh Islam dan setiap orang berdo’a menurut agamanya masing-masing. Meski dalam hal ini perlu diberi catatan. Namun demikian kenapa mereka harus berkumpul untuk berdo’a bersama-sama. Adakan saja ritual sendiri-sendiri bagi pemeluk agama masing-masing. Bagi agama selain Islam mungkin tidak bermasalah, namun dalam sudut pandang Islam hal tersebut adalah terlarang, karena termasuk mencampur-adukkan agama-agama, antara yang hak dan bathil tidak bisa disatukan apalagi dalam hal ibadah. Sudah diketahui, agama-agama selain Islam adalah penganut Polytheisme yang sangat bertentangan secara diametral dengan prinsip Islam sebagai ajaran tauhid/monotheisme. Ibarat air dan minyak, selamanya Islam tidak akan pernah dicampur-adukkan dengan agama-agama lain. Maka dari itu, Allah SWT tegas melarang pencampur-adukkan agama semacam itu.

Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 42)

Imam Qatadah dan Mujahid mengartikan ayat ini : “Janganlah kamu campur adukkan antara agama Yahudi dan Nasrani dengan Islam.”[4] Penafsiran Imam Qatadah dan Mujahid di atas ternyata terbukti pada saat ini. Sebagian kalangan yang mengaku Islam, telah benar-benar ingin mencampur adukkan antara Agama Yahudi dan Nasrani dengan Agama Islam. Bahkan lebih dari itu, ingin mencampuradukkan antara agama Islam dengan berbagai aliran kepercayaan. Nah tradisi do’a bersama lintas agama adalah satu bentuk konkret pencampuradukkan agama-agama tersebut.

Selain itu, bukankah apapun amal kebaikan yang dilakukan oleh orang-orang kafir tidak akan diterima oleh Allah SWT? Logikanya mana mungkin orang-orang tidak tunduk kepada Allah SWT tapi Allah SWT mengabulkan do’a mereka. Sungguh mustahil. Maka dari itu, Allah SWT mengumpamakan amal-amal mereka ibarat debu yang beterbangan, hilang tertiup angin.

"Dan Kami hadapi segala amal yang mereka (orang kafir) kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan." (QS. Al Furqaan: 23)

Demikian pula do’a yang mereka panjatkan, tentu ditolak seketika oleh Allah SWT. Sebagaimana firmanNya:

Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatu pun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. Dan doa (ibadah) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka.” (QS. Al-Ra’du: 14)

Lantas, sungguh mengherankan jika ada orang yang mengaku Muslim namun masih ikut serta dalam ritual do’a bersama lintas agama. Sudah jelas do’a mereka tak akan diterima oleh Allah tapi masih saja melakukan ritual semacam itu. Maka hal ini adalah perbuatan yang sia-sia jika tidak untuk mengatakan sesat. Selain itu, dengan kita mengikuti ritual itu, maka sama saja kita mengaminkan ibadah, agama, dan Tuhan-Tuhan mereka. Lagi-lagi ini adalah kelakuan syirik modern di abad ini.

Biasanya para pemuja pluralisme agama menuduh orang-orang yang tidak menyepakati ide-ide mereka termasuk dalam hal ini ritual do’a bersama lintas agama dengan julukan golongan yang tidak toleran, radikal, dan lainnya. Ini jelas tuduhan klasik yang membosankan, apakah hanya mereka saja yang berhak disebut kaum yang toleran. Umat Islam tidak perlu diajarkan toleransi, baca nash-nash dalam Al-Qur’an dan hadits, telusuri sejarah Islam, itu sudah cukup untuk membuktikan bahwa umat Islam adalah umat paling toleran. Selain itu, kita bisa membandingkan kaum non Muslim yang minoritas di Indonesia dengan kaum Muslim minoritas di Belanda, Prancis, Amerika Serikat dan lainnya.  Kaum Non Muslim di Indonesia bisa hidup nyaman, diberikan kebebasan, diberikan hari libur untuk memperingati hari raya mereka, dapat beribadah dengan tenang dan lainnya. Sedangkan umat Islam minoritas di Negara-negara Barat dan lainnya selalu dideskriditkan, ditindas, tidak diberi kebebasan, tidak diberikan hari libur untuk memperingati hari raya, dan lainnya. Nah siapa sebenarnya yang tidak toleran?

(Ibnu Sururi Asy-Syirbuny)



[3] Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 03/Munas VII/MUI/7/2005 tentang do’a bersama.
[4] Al Qurtubi , Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an , Juz 1, hlm : 233 , Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al Adhim, juz I, hlm 133.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mutiara dari Nusa Laut (Jejak Juang Martha Christina Tiahahu)

Apakah Yesus Anak Allah ?

FENG SHUI; ANTARA ILMIAH DAN MITOS